Putu Felisia : Blog Inspiratif untuk Kehidupan Sehari-hari

Rabu, 07 Mei 2025

Bahaya Brain Rot: Dampak dan Langkah-Langkah Mengatasinya

Merasa sulit fokus, mudah terdistraksi, atau kehilangan minat pada hal-hal yang dulunya kamu sukai? Bisa jadi kamu mengalami gejala brain rot. Kondisi ini, yang ditandai dengan penurunan fungsi otak akibat bombardir informasi, memiliki dampak signifikan pada kehidupan sehari-hari. Mari kita telaah lebih lanjut apa itu brain rot dan bagaimana cara mengatasinya agar kamu kembali produktif dan fokus. 


brain rot




Sebagai pengguna media sosial, saya terkadang dibuat geleng-geleng kepala melihat betapa cepatnya tren berubah. Beberapa waktu lalu, FYP saya penuh dengan video-video "tung tung sahur" yang entah bagaimana bisa begitu viral—sebuah "anomali" konten yang cukup membingungkan, bukan? Bahkan, anak-anak saya pun sudah terpapar fenomena ini. Suatu hari, mereka bertanya apakah saya tahu soal "Skibidi Toilet". 


Baca juga:

Kemudahan Belajar Lewat Teknologi Digital


Jujur saja, saya blank. Dari situlah saya kemudian mendengar istilah "brain rot" dan langsung tergerak untuk mencari tahu lebih lanjut. Ternyata, fenomena yang awalnya saya anggap sepele ini cukup serius. Oxford University Press bahkan menobatkannya sebagai Word of the Year 2024, menandakan bahwa apa itu brain rot dan dampaknya memang menjadi perhatian global. Nah, artikel ini hasil riset kecil-kecilan yang hadir untuk mengupas lebih dalam tentang brain rot, mulai dari dampak yang mungkin timbul hingga cara mengatasi brain rot agar kita bisa lebih bijak dalam mengonsumsi konten digital.

Dampak Brain Rot pada Kehidupan Sehari-hari

apa itu brain rot


Konsumsi konten brain rot secara berlebihan dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesehatan mental hingga produktivitas. Berikut beberapa dampak utama yang perlu diperhatikan:


1. Penurunan Rentang Perhatian

Penelitian menunjukkan bahwa paparan terus-menerus terhadap konten pendek dan cepat, seperti video TikTok, dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk fokus dalam jangka waktu lama. Dr. Gloria Mark, profesor di University of California, menemukan bahwa kemampuan konsentrasi manusia menurun drastis akibat kebiasaan multitasking digital.


2. Gangguan Kesehatan Mental

Studi yang diterbitkan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health menemukan bahwa penggunaan TikTok yang berlebihan berkorelasi dengan peningkatan depresi, kecemasan, dan stres pada remaja. Konten yang sensasional atau kontroversial sering kali memicu emosi negatif, memperburuk kondisi mental.


3. Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis

Konten brain rot cenderung menghibur tanpa mendorong analisis atau refleksi. Hal ini dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, terutama pada pelajar yang lebih memilih menonton video pendek ketimbang membaca atau mengerjakan tugas yang menantang.


Baca juga:

Waspada Penipuan Online



4. Kebiasaan Konsumtif Digital

Algoritma media sosial dirancang untuk membuat pengguna terus scrolling, memanfaatkan sistem dopamin di otak. Dr. Kyra Bobinet, penulis Unstoppable Brain, menyebut fenomena ini sebagai pemicu brain fog, di mana seseorang merasa sulit berkonsentrasi atau melakukan pekerjaan mendalam (deep work).


Contoh Nyata Brain Rot di Media Sosial


konten bikin brain rot



Fenomena brain rot seringkali terwujud dalam berbagai tren dan konten viral yang menarik perhatian banyak pengguna internet, termasuk di Indonesia. Beberapa contoh yang dapat kita amati meliputi:

  • Video Singkat yang Adiktif: Platform seperti TikTok dan Reels dipenuhi dengan video berdurasi singkat yang dirancang untuk terus ditonton tanpa jeda. Konten-konten ini, mulai dari tarian sederhana, lip-sync, hingga potongan adegan tanpa konteks yang jelas, dapat dengan mudah menghabiskan waktu berjam-jam tanpa memberikan stimulasi intelektual yang berarti.
  • Tren Suara dan Tantangan yang Tidak Jelas Tujuannya: Kita sering melihat tren suara atau tantangan (challenges) yang viral tanpa alasan yang mendasar. Misalnya, sebuah kutipan audio pendek atau gerakan tarian yang diulang-ulang jutaan kali, terkadang tanpa makna atau tujuan yang jelas selain untuk hiburan sesaat.
  • Penggunaan Bahasa Slang dan Akronim yang Berlebihan: Meskipun bahasa terus berkembang, penggunaan slang dan akronim yang sangat spesifik dan cepat berubah di kalangan generasi muda daring (termasuk istilah-istilah seperti rizz, gyatt, atau tren-tren spesifik lainnya) terkadang mendominasi percakapan. Hal ini bisa menyulitkan pemahaman dan mengurangi substansi komunikasi.

Baca juga:


  • Konten "Meme" yang Sangat Absurd: Meme adalah bagian tak terpisahkan dari budaya internet, namun terkadang meme menjadi sangat abstrak, tidak masuk akal, atau hanya dipahami oleh sekelompok kecil orang. Konsumsi meme semacam ini secara berlebihan bisa mengarah pada penurunan kemampuan berpikir logis atau fokus pada hal yang lebih kompleks.
  • Fenomena "Tung Tung Sahur": Seperti yang sempat kita bahas, viralnya fenomena "tung tung sahur" di Indonesia beberapa waktu lalu bisa menjadi contoh bagaimana konten yang sederhana dan repetitif dapat menjadi sangat populer tanpa alasan yang jelas, dan mungkin tidak memberikan nilai informasi atau hiburan yang mendalam.


Cara Mengatasi Brain Rot

Meski brain rot bukan diagnosis medis, dampaknya nyata dan dapat diatasi dengan langkah-langkah sederhana. Berikut beberapa cara praktis untuk mengurangi risiko brain rot dan menjaga kesehatan mental di era digital:


1. Batasi Waktu Layar

Para ahli merekomendasikan penggunaan media sosial tidak lebih dari 30 menit hingga 2 jam per hari. Gunakan fitur screen time di ponsel untuk memantau dan membatasi penggunaan aplikasi seperti TikTok atau Instagram.


2. Pilih Konten Berkualitas

Kurasi feed media sosial Anda untuk mengikuti akun yang memberikan nilai tambah, seperti konten edukasi, tutorial, atau podcast informatif. Hindari akun yang hanya menawarkan hiburan tanpa substansi.


Baca juga:

UMKM Bali Menuju Ekosistem Metaverse


3. Lakukan Aktivitas Offline

Gantikan waktu scrolling dengan aktivitas fisik seperti olahraga, memasak, atau berkebun. Menurut Newport Institute, aktivitas offline membantu menyeimbangkan kesehatan mental dan mengurangi ketergantungan pada gadget.


4. Praktikkan Digital Hygiene

Jaga kesehatan digital kita dengan beberapa langkah sederhana: coba deh matikan notifikasi aplikasi biar nggak gampang keasikan buka sosmed. Terus, usahain satu jam sebelum tidur jangan lihat-lihat layar gadget lagi biar tidurnya nyenyak. Nah, yang nggak kalah penting, bikin aturan di rumah, misalnya pas lagi makan bareng keluarga, semua gadget ditaruh dulu ya!


5. Kembangkan Kebiasaan Membaca

Membaca buku atau artikel panjang dapat melatih otak untuk fokus dan berpikir kritis. Mulailah dengan topik yang Anda minati untuk membangun kebiasaan ini secara bertahap.


Mengapa Kita Harus Peduli dengan Brain Rot?


dampak brain rot



Brain rot bukan hanya soal kebiasaan scrolling yang tidak berbahaya. Ini adalah cerminan dari bagaimana teknologi membentuk cara kita berpikir, berinteraksi, dan hidup. Dengan kesadaran dan tindakan yang tepat, kita dapat menggunakan media sosial sebagai alat yang memberdayakan, bukan yang melemahkan. Seperti kata Dr. Don Grant dari Newport Healthcare, “Kita tidak bisa menyalahkan teknologi sepenuhnya. Ini soal bagaimana kita belajar berenang di lautan digital tanpa tenggelam.”


Kesimpulan


peduli brain rot



Brain rot adalah fenomena modern yang mencerminkan tantangan hidup di era digital. Meski awalnya terdengar seperti lelucon, dampaknya terhadap kesehatan mental, kemampuan kognitif, dan produktivitas tidak bisa diabaikan. Dengan membatasi waktu layar, memilih konten berkualitas, dan menyeimbangkan aktivitas daring dan luring, kita dapat mencegah brain rot dan menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bermakna.


Referensi:

https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/

https://www.theguardian.com/commentisfree/2024/dec/09/brain-rot-word-of-the-year-reality-internet-cognitive-function

https://www.mdpi.com/2076-3425/15/3/283

https://en.wikipedia.org/wiki/Brain_rot

https://www.channelnewsasia.com/commentary/brain-rot-social-media-oxford-word-digital-health-habits-mindful-internet-use-4802636

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

6 komentar:

  1. Saya baru tahu istilah Brain rot ini. Dan ternyata efeknya membahayakan juga ya. Memang harus diakui, zaman now informasi seakan membombardir kita. Segala informasi datang dengan cepat. Padahal tidak semua informasi bagus dan bermanfaat. makanya kuncinya memang dari diri kita sendiri ya. Bagaimana kita membatasi diri, memilih dan memilah informasi yang bagus dan sesuai untuk kita.

    BalasHapus
  2. Bahaya juga ternyata terlalu sering melihat video pendek pada medsos ya. Tidak hanya kita membuang-buang waktu tapi juga membuat otak menurun kemampuannya. Semangat lagi deh untuk kegiatan offline

    BalasHapus
  3. Terlalu banyak berselancar di dumay memang gak baik ya. Apalagi seakan si internetnya paham apa yang lagi kita cari. Jadi harus diri kitanya yang mengubah itu semua

    BalasHapus
  4. Kadang, kalau aku sudah terlalu lama menikmati scroll TikTok atau Reels di Medsos, bikin aku jadi malas melakukan hal lainnya.

    Niat hati ingin menjadikannya sebagai hiburan sesaat, eh nggak sadar udah scroll TikTok atau reels medsos berjam-jam.

    Ini bikin kerjaan banyak terbengkalai. Mungkin ini yang namanya brain rot ya, Kak.

    BalasHapus
  5. Saya juga merasakan situasi ini terjadi pada anak2 saya loh mbak. Kudu pelan2 nih melakukan pendekatan kepada mereka agar membatasi screen time dan memilih dengan cermat konten yang dilihat setiap harinya.

    BalasHapus
  6. Bahaya juga yaa.. ketika seseorang gak sadar kalau uda masuk fase brain rot, maka dampaknya adalah menurunnya daya ingat, kehilangan fokus dan konsentrasi, penurunan kemampuan analisis, tidak berkembangnya kemampuan berpikir kritis dan kompleks.

    Kudu ada batasan dari diri sendiri.
    Dan ini beneran gak perlu nunggu brain rot yaa.. karena yang bisa mengukur batasan tersebut adalah bener-bener kontrol diri sendiri atas kendali hidupnya.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)