Seperti yang kita tahu, laporan UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, atau satu dari seribu orang yang benar-benar gemar membaca secara aktif (sumber: Times Indonesia). Untungnya, beberapa tahun belakangan Gerakan Literasi Nasional semakin bergerak. Demikian juga Badan Bahasa di masing-masing daerah.
Lomba penulisan buku anak dwi bahasa ini merupakan salah satu program dari Balai Bahasa Bali. Berikut adalah pengalaman saya mengikuti lomba hingga kemudian lolos menjadi salah satu peserta Bimtek Penulisan Cerita Anak Dwi Bahasa Balai Bahasa Bali 2025.
Berawal dari nekat: penulis novel dewasa nulis cerita anak, emangnya bisa?
Jujur, ini merupakan kali pertama saya mengikuti perlombaan yang diadakan oleh Balai Bahasa Bali. Agak terlambat sebenarnya karena teman-teman penulis lain sudah lebih dulu lolos lomba bahkan sampai di GLN.
Waktu saya lihat pengumumannya, saya sempat maju mundur. Maklumlah, selama ini, saya hanya menulis cerita dewasa. Beberapa kali ikut kursus menulis cerita anak pun, belum dapat rohnya. Namun, melihat tema kesehatan mental, saya pun ngide: gimana kalau saya bikin cerita tema kesehatan mental aja? Ini kan akrab banget dengan saya. Terus saya juga ingat kalau di Bali isu kesehatan mental mulai hangat dibicarakan. Jadilah saya gaskan saja, hehehe.
Lolos lomba dan jadi 3 besar: satu-satunya peserta yang nulis kesehatan mental!
 |
tidak menyangka lolos lomba; foto: dok.pribadi |
Dan ternyata, saya baru tahu kalau saat itu saya satu-satunya yang mengangkat isu kesehatan mental. Bisa dimengerti sih, karena kesehatan mental adalah hal yang sensitif dan penulis harus sangat berhati-hati agar pembaca tidak menggunakannya untuk self diagnosed.
Baca juga:
Tara sendiri awalnya saya tulis berjuang menghadapi depresi ringan. Namun, pada akhirnya, si depresi ini diturunkan gradenya sampai di level menghadapi kesedihannya.
Pengalaman Ikut Bimtek Penulisan Buku Cerita Anak Dwi Bahasa
Bimtek Penulisan Buku Cerita Anak Dwi Bahasa ini diadakan di Hotel Aston Kuta & Residences pada tanggal 22-25 Juni 2025 lalu. Ada banyak insight bagus yang saya dapatkan dari para mentor, juga Pusat Perbukuan dan Balai Bahasa Bali.
Hal penting yang disampaikan para mentor adalah jangan menasihati dan jangan menggurui dalam menulis cerita anak. Cerita anak harus mengajarkan kemandirian dengan minimnya peran orang dewasa. Tidak boleh ada kekerasan maupun pembiaran.
Secara khusus, Ci Dian Kristiani memaparkan tentang Dulce et etile. Dalam sastra anak, "dulce et utile" adalah istilah Latin yang berarti "manis dan bermanfaat" atau "menyenangkan dan mendidik". Istilah ini menggambarkan dua fungsi utama karya sastra, termasuk cerita anak: memberikan hiburan (dulce) dan memberikan pelajaran atau nilai moral (utile). Sebuah cerita anak yang baik harus mampu menggabungkan kedua aspek ini agar menarik dan bermanfaat bagi pembacanya.
 |
Mimpi apa bisa ketemu Ci Dian; foto: dok. pribadi |
Di sesi Kang Benny Rhamdani, beliau memaparkan jenjang pembaca dari A hingga C. Masing-masing jenjang memiliki teknik yang berbeda disesuaikan dengan kemampuan membaca anak. Dalam lingkup storytelling pun masing-masing jenjang memiliki lingkup berbeda. Jenjang A biasanya tentang diri anak, jenjang B1 mulai ke lingkungan keluarga, B2-B3 meluas ke lingkungan pertemanan/sekolah dan C meluas lagi ke orang di luar lingkungan misalnya petugas jagawana.
 |
Katanya galak tapi ternyata baik bangeet; foto: dok.pribadi |
Di Bimtek ini juga ada Debby Lukito, seorang penulis cerita anak internasional. Di sesi beliau, Debby mengajak peserta belajar penerjemahan bahasa. Debby memberikan paragraf untuk diterjemahkan ke Bahasa Bali dan hasilnya dishare untuk mendapat masukan.
 |
Kangen-kangenan sama Debby Lukito; foto: dok. pribadi |
Sesi lain dibawakan oleh Pusat Perbukuan. Di sesi ini disampaikan ketentuan kelayakan buku yang boleh beredar. Berikutnya, ada Angga dari Balai Bahasa Bali yang sukses bikin pusing dengan pelajaran Bahasa Balinya (maafkan saya, Bli ... hahaha).
Kesimpulan: dari Nekat hingga mendapatkan inspirasi baru
Pengalaman mengikuti Bimtek Penulisan Cerita Anak Dwi Bahasa Balai Bahasa Bali 2025 ini jelas jadi perjalanan yang nggak disangka-sangka, dari sekadar nekat ikut lomba hingga akhirnya jadi bagian dari tiga besar peserta terbaik! Ini membuktikan bahwa keberanian mencoba hal baru, bahkan di luar zona nyaman (seperti menulis cerita anak dengan tema sensitif seperti kesehatan mental), bisa berbuah manis.
Baca juga:
Bimtek di Hotel Aston Kuta & Residences ini nggak cuma jadi ajang belajar, tapi juga membuka mata tentang betapa pentingnya peran cerita anak dalam meningkatkan minat baca di Indonesia yang masih memprihatinkan. Para mentor hebat memberikan wawasan berharga, seperti prinsip "jangan menasihati dan jangan menggurui," serta konsep "dulce et utile" yang mengajarkan bagaimana cerita anak harus bisa menghibur sekaligus mendidik.
Dari pemahaman tentang jenjang pembaca anak hingga pentingnya penerjemahan dwibahasa, Bimtek ini benar-benar memberikan bekal komplit. Jadi, buat kamu yang mungkin punya minat serupa, jangan ragu untuk "gaskan" saja! Siapa tahu, ide nekatmu bisa jadi cerita anak yang menginspirasi banyak orang, persis seperti kisah Tara.
Seru kayanya acaranya. Memang harus nekat sih kalo kaya gitu. Kalo gak nekat mageran... sekalian cari relasi...
BalasHapuswah selamat mbak ya, lihat judul tentang mental health jadi penasran. layak sih masuk top three, topik tentang kesehatan mental memang akhir akhirnya ini cukup menarik audies terkhusus anak-anak yang siklusnya rawan
BalasHapusWaaah keren ya, berkesempatan bertemu dengan sesama penulis. Tapi gak mudah juga ya ternyata ikut bimtek seperti ini karena harus lulus lomba juga. Selamat mbak Futu!!
BalasHapusKak keren banget! Bisa membuat cerita anak. Jujur saya baru pertama kali mampir di blog kak putu, mungkin bisa dijelasin tips untuk bisa membuat karya seperti ini.
BalasHapus