Kamis, 05 Juni 2025
Di era digital, media sosial seperti TikTok telah menjadi cerminan baru bagi ekspektasi hubungan, termasuk pernikahan. Sering kali, saya melihat teman-teman perempuan di Facebook mengeluhkan standar yang dipromosikan TikTok, yang konon membuat rumah tangga hancur.
Standar TikTok: Ekspektasi yang Tidak Realistis?
![]() |
Standar Tiktok tidak selalu jelek; foto dari Canva |
Lebih lanjut, studi dari Communicare: Journal of Communication Studies (2023) menganalisis hashtag #MarryIsScary di TikTok, yang mengungkapkan bahwa 68% video menyoroti pernikahan secara negatif, menekankan ketakutan akan komitmen, beban finansial, dan ketidakstabilan emosional. Sebanyak 60% komentar mendukung pandangan ini, terutama di kalangan wanita berusia 18-30 tahun. Algoritma TikTok memperkuat narasi ini melalui efek echo chamber, membuat pengguna terus-menerus terpapar konten yang memperkuat ketakutan atau ekspektasi tidak realistis tentang pernikahan.
Meskipun demikian, tidak semua konten TikTok bersifat destruktif. Beberapa pasangan menggunakan platform ini untuk berbagi kisah positif, seperti yang dilaporkan Newsweek (2023), di mana pasangan milenial bertemu dan menikah melalui TikTok. Namun, dominasi konten yang menonjolkan kesempurnaan sering kali membuat pengguna merasa hubungan mereka kurang ideal, yang dapat memperburuk dinamika rumah tangga.
Standar Masyarakat: Inikah Standar yang Benar?
![]() |
Standar tradisional bisa jadi baik juga; foto dari Canva |
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2024, terdapat 289.836 kasus KDRT yang dilaporkan, dengan 96% korbannya adalah perempuan. Anak-anak juga sering menjadi korban tidak langsung, dengan 12.159 kasus kekerasan terhadap anak dalam konteks rumah tangga pada periode yang sama. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 7% dibandingkan tahun 2023, menandakan bahwa dinamika rumah tangga masih jauh dari ideal. Patriarki, yang sering kali menempatkan laki-laki sebagai pengambil keputusan utama, turut memperburuk situasi, dengan 78% kasus KDRT melibatkan kekuasaan tidak seimbang dalam rumah tangga.
Selain itu, fenomena toxic parents dan generasi sandwich semakin memperumit pandangan terhadap pernikahan. Toxic parents, yang sering kali memaksakan ekspektasi atau campur tangan berlebihan dalam pernikahan anak mereka, dapat memicu konflik. Sementara itu, generasi sandwich—mereka yang harus merawat orang tua sekaligus anak-anak mereka—menghadapi tekanan finansial dan emosional yang besar. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa 32% rumah tangga di Indonesia menghadapi tekanan finansial akibat tanggung jawab ganda ini, yang sering kali memperburuk ketegangan dalam pernikahan.
Ketakutan akan Pernikahan: Wajar atau Berlebihan?
Menurut saya, takut akan pernikahan adalah hal yang wajar. Realitas seperti KDRT, patriarki, dan tekanan sosial menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang selalu mudah atau indah. Memiliki standar personal juga wajar, karena setiap individu berhak menentukan apa yang mereka inginkan dalam hubungan. Namun, menikah hanya untuk memenuhi tuntutan sosial—seperti anggapan bahwa menikah adalah "jalan yang benar"—bisa menjadi alasan yang salah. Data dari BPS (2022) menunjukkan bahwa 516.334 kasus perceraian terjadi di Indonesia, dengan penyebab utama seperti pertengkaran (42%) dan perselingkuhan (19%), yang sering kali dipicu oleh ketidaksesuaian ekspektasi.
![]() |
Menikahlah dengan tujuan yang benar; foto dari Canva |
Standar TikTok dan standar masyarakat memiliki kelebihan dan kekurangan. TikTok dapat menginspirasi pasangan untuk lebih kreatif dalam hubungan mereka, tetapi juga bisa menciptakan ekspektasi yang tidak realistis. Standar masyarakat memberikan stabilitas melalui nilai-nilai tradisional, tetapi sering kali mengabaikan dinamika modern seperti kesetaraan gender. Daripada mengikuti semua standar ini secara membabi buta, penting untuk memfilter mana yang sesuai dengan nilai pribadi. Yang terpenting, kehidupan pernikahan adalah tanggung jawab pasangan itu sendiri, bukan orang lain.
Kesimpulan
![]() |
Yang menjalani pernikahan adalah kamu; foto dari Canva |
Standar TikTok dan standar masyarakat sama-sama memengaruhi persepsi tentang pernikahan, tetapi keduanya memiliki dampak yang berbeda. TikTok sering kali menciptakan ekspektasi tidak realistis yang dapat memicu ketidakpuasan, sementara standar masyarakat yang kaku kadang-kadang mengabaikan realitas seperti KDRT dan patriarki. Data menunjukkan bahwa pernikahan di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, dengan ratusan ribu kasus KDRT dan tekanan pada generasi sandwich. Namun, ketakutan akan pernikahan adalah wajar, dan memiliki standar personal adalah hak setiap individu. Yang terpenting, pernikahan adalah perjalanan pribadi—pilihlah standar yang mendukung kebahagiaanmu, bukan yang ditentukan oleh algoritma TikTok atau tekanan sosial.
Referensi
Hadeeh ada-ada aja masyarakat Indonesia mah. Segala konten di TikTok dijadikan standar. Nggak bisa menyaring mana yang baik dan mana yang buruk. Sebenarnya TikTok itu mirip racun ya, kalo kita nggak pandai memilah kontennya. Dahlah, jalani aja apa adanya. Jangan terlalu ngikutin tren atau apa kata orang. Yang jalanin kan kita sendiri
BalasHapusWah, setuju banget! Standar TikTok itu kadang bikin pusing ya, serasa pernikahan harus sempurna terus. Padahal, standar masyarakat juga banyak PR-nya, apalagi soal KDRT. Intinya, balik lagi ke diri sendiri, cari yang bikin kita bahagia, bukan ikut-ikutan tren atau omongan orang. 😊
BalasHapusSepakat, pernikahan itu merupakan perjalanan pribadi, jadi kita tentukan sendiri standarnya sesuai standar kita.
BalasHapusSepatu orang lain belum tentu pas di kita bukan
Kadang suka aneh kalau ada yang begitu terpengaruhnya sama standart TikTok. Mereka pada nggak nyadar apa ya. Namanya juga ingin diperlihatkan ke dunia, tentulah diperlihatkan yang menarik.
BalasHapusTerus saat ternyata pasangan yang dijadikan role model ternyata punya masalah dalam pernikahannya, terus pada bilang, laki-laki seperti apa lagi yang bisa dijadikan sandaran hidup? Pretlah.
Kadang-kadang memang gitu sih ya, orang menjadikan sesuatu yang dilihat di media sosial menjadi suatu standar yang lumrah. Padahal udah jelas, tayangan di medsos kan pasti sudah diedit ataupun di-setting agar menarik untuk dilihat.
BalasHapusKalo keblinger dengan FOMO ya gitu, atau apa² dengerin kata orang. Padahal itu orang gak tahu kondisi sebenarnya. Cuma tahunya ala" Standar. So dengan style sendiri ajalah
BalasHapusBermedsos Tiktok memang harus bijak banget. Banyak banget konten yang absurd, tak terkecuali tentang pernikahan.
BalasHapusSayangnya dengan rata-rata kapasitas pemikiran masyarakat kita, masih banyak yang menggunakannya sebagai standar hidup, akhirnya malah jadi kesasar jauh.
Jadi inget beberapa waktu lalu ada yang cerai gegara istrinya tidak terima dengan nafkah suami yang dianggapnya tidak sesuai dengan standar influencer tiktoker yang dia ikuti
Pernikahan itu kalau menurut saya sederhana saja undang teman dan kerabat, saudara dekat. Resepsi sederhana saja yang penting orang² tau bahwa mereka sudah menikah jadi tidak timbul fitnah.
BalasHapusYang penting itu justru setelah pesta pernikahan. Bagaimana kehidupan setelah menikah bisa tetap sakinah mawadah warahman dan penuh cinta.