Hingga kini, saya masih bingung kalau
ditanya, “Kerja apa?” Pasalnya, di kolom KTP nggak ada tercantum profesi ini *dipertegas*
:3 Di kehidupan nyata, profesi ini sama sekali nggak keren. Bahkan tetanggamu
nggak akan peduli bukumu mejeng di Gramedia. Keluargamu jengkel karena
pemikiranmu tidak seperti pemikiran umum. Ini perempuan bukannya mikirin dapur,
suami, sama anak-anak, malah mikirin Tuhan, politik, bullying, diskriminasi perempuan, masalah-masalah sosial, sama global warming. Tuh, kurang nyeleneh apa
coba? Kan nggak lucu, suami nanya berapa habisin duit di pasar, istrinya jawab harga
bawang lagi naik gara-gara pemerintah naikin harga BBM, hihihi :3 (pengalaman
saya, lho…)
Soal materi jangan ditanyakan. Untuk
penulis yang belum setingkat dengan Tere Liye atau Ika Natassa (ini nama yang
kebetulan terlintas, jangan baper :3), ya jangan terlalu ngarep. Kalau mereka
bersin aja udah jadi best seller
(maaf agak lebay), nah penulis yang masih belum beruntung masih harus
bersusah-susah ditolak di mana-mana, atau malah repot beli gantungan kunci buat
bonus buku.
Miris?
Faktanya, penulis itu bukan profesi yang
keren banget, lah. Masih kalah sama penyanyi dangdut yang bisa mejeng dengan
riasan cantik. Persaingan pun bisa terbilang rada-rada edan. Hari gini modal kualitas tulisan doang? Nggak zaman, Brosis! Dirimu juga harus punya pangsa
pasar yang jelas. Tolok ukurnya di mana? Di mana lagi kalau bukan sosmed dan
portal novel online.
Seorang teman blak-blakan bilang, kalau
penulis itu harus all out. Bisa
fotografi, bisa editing foto, bisa
bikin video, bisa editing video,
eksis di semua sosmed, punya banyak follower
(walaupun beli), punya jaringan di sana-sini, dan seterusnya. Idih, beneran bikin kepala ngebul. Ini
lebih ribet ngurusin medsosnya daripada risetnya, hahahahaha…
Baca Juga: Dilema Penulis Online
Tapi gimanapun, kita nggak boleh lupa kalau
penerbit memang mempercayakan modalnya buat buku kita. Pahit, sih. Apalagi
kalau tahu ada novel yang masih khilaf EBI dan logika amburadul lolos dengan
mudah. “Telah dilihat … juta kali di Wattpad”
sudah jadi satu poin unggulan yang menjamin 80% (kira-kira, ya… soalnya
saya bukan orang penerbit) lolos major. Mungkin memang mereka pangsa pasarnya
jelas. Mungkin buku mereka juga laris manis. Kan kita nggak tahu juga. Kenyataannya
memang yang juta-juta itu lebih menarik perhatian (saat ini, entah sampai
kapan). Menolak fakta ini cuma bakal bikin kecewa. Karena itu, mau nggak mau
kita harus sadar, penerbitan itu industri. Ada banyak orang yang menggantungkan
kehidupan mereka di sana. Penulis hanyalah segelintir kecil di antaranya.
Seorang senior selalu bilang saya tersesat.
Beliau sendiri, setelah menuliskan lebih dari 50 buku (terbit major, ya…
catat!), menghasilkan ratusan cerpen, dan pernah begitu mencintai dunia
menulis, sekarang memilih gantung pena. Realistis, katanya. Buat apa nulis
kalau royaltinya bikin nangis? Hari gini, jual rongsokan saja (katanya) lebih
untung. Ngapain nulis kalau duitnya nggak bisa buat makan? Penulis produktif
aja buntut-buntutnya lamar kerja jadi waiter
di restoran.
Nah, makanya saya heran… kok ya, masih saja
ada pain and love terhadap dunia
tulis menulis? Mau makan, ingat nulis. Mau tidur, ingat nulis. Ini kan persis
orang yang sedang tumbuh cinta, hahaha… Belum lagi mau mulai ganti profesi, kok
ada aja halangannya. Jualan spageti, spagetinya balik mulu. Jualan sate, suppliernya mengecewakan. Belum
capeknya, belum sumber daya yang harus berakhir di tong sampah. Hiks T_T Cuma
jahit doang yang masih bisa. Itupun rada ngos-ngosan. Yang penting ada duit
beli sabun dan sampo *penting banget*.
Inspirasi lain: Belajar dari Hwang Jin-yi
Alhasil, sekuat apapun memberontak, damai
sejahtera itu cuma terasa kalau sudah duduk dan mengetik sesuatu. Nyerah, dah! Yowes… Gusti Allah kalau suruh saya
nulis, saya nulis, deh… #pasrah xD Dan herannya, sejak saya pegang pemikiran
ini, saya nggak mikir apa-apa lagi. Que
sera sera, whatever will be, will be aja.
Kemarin, saya ingat lagi soal tulis menulis
ini. Semua hal yang pernah saya lalui terlintas di kepala. Dan ternyata, proses
menjadi penulis yang benar-benar penulis itu juga dilalui sebagian besar
(mungkin semua) penulis.
Saya masih ingat, awalnya saya menulis
adalah untuk melarikan diri. Dunia itu busuk. Dunia fiksi bisa dibuat ideal.
Dari lari, kemudian memenuhi ego. Apapun yang saya tulis, itu untuk
mendatangkan puji-pujian. Saya senang sekali jika dipuji. Ini adalah tujuan
saya ketika pertama kali menulis. Masih pemula. Penulis pemula yang berjuang
demi ego. Dan ego saya ternyata menghasilkan beberapa buku. Puji Tuhan, kan.
Ego kemudian bergabung dengan arogansi.
Saya sering menertawakan penulis pemula yang masih polos. Saya remehkan mereka
yang bertanya. Pokoknya, dulu saya menjengkelkan banget. Apalagi, dulu lagi
beken julukan suker, suhu keren. Wow,
rasanya jadi suker itu cetar
membahana syalala, deh… Semua penulis pemula hormat. Nggak ada yang berani
macam-macam.
Lalu orang-orang pun mulai menuntut. Bahkan
diri sendiri juga menuntut. Semua itu kurang! Kurang! Kurang! Saya berubah
menjadi hakim atas diri saya sendiri. Ini adalah tahap di mana saya merasa
semua yang saya tulis jelek. Semua yang saya tulis menjijikkan. Tahap-tahap ini
menakutkan sekali. Karena ego dan arogansi ada di atas segala-galanya. Hati
saya ingin meraih lebih dan lebih. Saya ingin menerima pujian lebih dan
menyenangkan semua pembaca.
Masalahnya, itu tak mungkin.
Munculnya penulis-penulis era wattpad mungkin cara Tuhan menegur saya.
Semua teori, semua ilmu menulis, semua teknik yang saya kuasai tidak ada
artinya. Kalah dengan popularitas. Saya akhirnya membenci tulisan. Rasanya
seperti berabad-abad ketika pemikiran saya lumpuh.
Kepala kosong tanpa ide. Mengetikkan satu kata saja susahnya minta ampun. Kebencian
dan kepedihan berubah menjadi akar pahit dalam diri saya. Semua terasa hampa.
Di sinilah titik nadir dari semua pencapaian saya. Saya memandangi trofi. Saya
memandangi piagam-piagam penghargaan. Dan seperti yang dikatakan di film
Disney’s Cars: “It’s just an empty cup”.
Akhirnya, saya sadar… penulis yang baik tidak
menulis untuk apa-apa. Mereka menulis karena mereka dipercayai melakukannya.
Mereka pewarta zaman yang akan meninggalkan warisan bagi generasi mendatang.
Karena itu, sangatlah egois jika seorang penulis masih berkutat dalam urusan
pundi-pundi uang dan puji-pujian duniawi. Penulis adalah pembelajar dan peneliti
kehidupan. Mereka belajar dari setiap hal, sekecil apapun itu. Mata mereka
peka. Hati mereka terbuka. Mereka menggerakkan peradaban dengan kata-kata.
Itulah penulis yang benar-benar penulis.
Jadi penulis itu nggak gampang, Brosis. Tapi saya percaya, apa yang
Tuhan percayakan tidak pernah salah. Masalahnya, manusia memiliki anugerah
pilihan bebas. Di sinilah brosis bisa
memilih, mau melewati proses yang mana. Sekali lagi, pilihlah sesuai kata Tuhan.
Karena rancangan-Nya tidak akan mendatangkan kecelakaan.
Selamat jadi penulis :)
Gambar dari pixabay.com
“Penulis memiliki kekekalan.”
Pdt. Yohanes Kristianus
Mbak kok nggak bahas bagian dagang satenya sih?
BalasHapusTunggu 1000 view dulu yak xD wkwkwk
HapusUdah nulisnya susah, penghasilan segitu (kalo bukan bernama Tere Liye, Raditya Dika dan sejenisnya), dipajekin otomatis, masih harus berhadapan pula dengan orang GILA popularitas yang memplagiat tulisan seenak dengkulnya.
BalasHapusYah... semoga mereka lekas bertobat :D
Hapus