Putu Felisia

Jumat, 18 Agustus 2017

MERDEKA ATAU MATI : Sudahkah Kamu Merdeka?

Dua tahunan ini agaknya perayaan 17 Agustusan semakin semarak. Upacara-upacara bendera yang biasanya penuh dengan ketegangan, kini menghadirkan musik dan tari. Semangat kemerdekaan tampak dari setiap lomba yang diunggah di media sosial. Mengesankan kalau perayaan kemerdekaan NKRI ini telah membawa kegembiraan dan semangat baru.

Kemarin, saya melihat foto Pak Jokowi menundukkan kepala saat upacara bendera. Saya bersyukur, caption fotonya begitu positif. Memiliki presiden yang begitu rendah hati itu sebuah karunia, bukan? Kerendahan hatilah yang membuat kita sadar, kalau tanggung jawab jadi presiden itu sangat berat.

Namun tentu saja, yang namanya kubu nyinyir pasti ada. Ibaratnya makan nasi belum lengkap tanpa adanya sambal. Di media sosial, keriuhan pesta perayaan kemerdekaan berlangsung dengan saling melempar komentar sinis. Tiada hari tanpa mengeluh,mungkin itu prinsip mereka. Karena itu, momen 17-an pun dijadikan ajang pelampiasan emosi.


Terus terang, alih-alih marah, saya malah kasihan sama orang-orang ini. Hidup mereka habis untuk mengeluh dan bersungut-sungut. Jadi ingat cerita satu bangsa yang berputar-putar di gurun pasir selama 40 tahun. Jangan-jangan, tabiat mereka sama aja dengan bangsa itu? Kalau dulu bangsa itu nyinyir setelah diselamatkan dari pengejaran, dibebaskan dari perbudakan, diberi makan setiap hari, terjamin pakaian, diademkan dengan tiang awan, dihangatkan dengan api surgawi… Nah, generasi ini lebih keren lagi.  Nggak ngerasain nggak enaknya perang dan lari dari musuh, nggak perlu ngerasain dijajah dua bangsa, cukup makan, pakaian branded, bisa nonton film India, atau maraton Drakor, atau nongkrongin Syahrini dan Raffi Ahmad pamer kekayaan, bisa internetan pula buat curcol-curcolan, tapi kerjaannya tiap hari misuh-misuh. Sudah misuh-misuh, foto presiden diinjek pula. Waduh, kalau bangsa yang diputar-putar di gurun itu lihat pun kayaknya bakal geleng-geleng kepala sambil ngomong, “Aduh, Le… kok kowe lebih parah dari aku, tho, ya…”

Saya ingat, dulu pernah baca tentang sumpah iblis dan semacamnya *maaf kalau salah* yang bilang kalau iblis bakalan menyesatkan manusia dari utara, selatan, barat, timur, kiri, kanan, tengah… segala penjuru lah. Tujuannya apa? Simpel. Pokoknya biar manusia itu TIDAK BERSYUKUR.
Ayat ini sampai sekarang jadi pegangan saya, lho. Jadi kalau hati saya mulai merasa kurang dan tidak damai sejahtera, maka saya akan segera introspeksi diri. Jangan-jangan lagi ada sesuatu yang bikin pikiran berputar-putar hingga menjadi galau dan sakaw marah-marah.

Saya nggak akan ngomongin dunia sebelah di sini. Cuma saya lagi prihatin aja sama orang yang kemarin masih bisa ngeluh dan bersungut-sungut. Kemerdekaan bangsa ini tidak ada artinya bagi mereka. Kenapa? Ya, karena mereka bahkan belum merdeka dari diri mereka sendiri. Penjajah mereka ya bukan rezim sekarang, bukan dunia sekarang, tapi pikiran dan hati mereka sendiri. Setiap hari merasa ketakutan, setiap hari merasa kurang dan kurang, setiap hari tangan gatal buat nyinyirin orang, setiap hari jari gatal pengin ke tetangga buat meneruskan jejak kepo peniros… ini dan itu. Dari ngurusin lahiran sectio apa normal, ngurusin nikahan kok ada orang yang nggak nikah-nikah, ngurusin lu vaksin apa nggak, sampai maki-maki orang yang udah jadi jenazah, dokter kok bisa mati (yaelah lu pikir dokter Robocop apa? -_-)… pokoknya segala sesuatu bakal jadi bahan nyinyir mereka. Termasuk Raisa wkwkwk :3


Padahal, nih… kalau aja mereka semua makmur dan kaya, bisa jadi mereka masih tetap bakal nggak puas. Bahkan mereka bakal berbuat hal yang makin buruk dan semakin menghancurkan diri mereka, bahkan menghancurkan bangsa ini.

Kalau ada yang pernah membaca kisah Mahabharata, pasti tahu Bangsa Yadawa, kan? Itu, lho… bangsa yang dipimpin Sri Krisna. Raja agung yang kini menjadi dewa bagi banyak orang. Dengan pemimpin luar biasa seperti itu, apakah Bangsa Yadawa mendapat kemajuan dan berakhir bahagia?
Sayangnya, nggak. Disebutkan kalau Bangsa Yadawa itu kemudian menjadi sekumpulan pemabuk yang selalu berpesta. Mereka mabuk hingga akhirnya saling membunuh. Sri Krisna pun akhirnya menyerah. Beliau membiarkan seorang pemanah membunuhnya. Bye, bye… Bangsa Yadawa. Hayati lelah… -_-

Dan dengan begitu, musnahlah Bangsa Yadawa. Tanpa sisa.

Bro’sis. Ini adalah sebuah pelajaran bagi kita semua. Perayaan kemerdekaan sebesar apapun. Dengan konsep sebagus apapun, tidak akan berarti jika kita semua belum bisa memerdekakan diri kita sendiri. Jangan mau seperti bangsa pertama, yang berputar-putar di gurun pasir, atau Bangsa Yadawa yang mabuk lalu saling membunuh.


Belajarlah menjadi merdeka. Karena bangsa ini sudah merdeka berkat para pejuang yang mengorbankan segalanya bagi Bangsa Indonesia. Tidak hanya harta, keluarga, golongan, tapi nyawa!

Ingatlah, kamu hanya bisa membantu memerdekakan orang lain, jika kamu sudah merdeka dari egoisme, narsisme, dan fanatisme sempitmu!

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.

Dirgahayu, Indonesiaku!
Gambar dari: pixabay.

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

Tidak ada komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)