Putu Felisia

Selasa, 07 Mei 2019

Mendidik Anak Usia Dini, Apakah Yang Terpenting?


"The early childhood plays a very important role establishing a solid base for the child’s overall growth and development.
Therefore, we believe in a curriculum that enables children to reach their fullest potential at their own pace. We are committed to provide a developmentally appropriate program based on children’s strengths, needs and abilities that form the basis of learning."
Apple Tree Gatsu Barat, Denpasar.
Sumber: google.map.



Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang ibu-ibu. Dia memperkenalkan diri sebagai ibu dari seorang anak yang kini memasuki usia PAUD. Mengingat saya memperkenalkan diri sebagai narablog yang puji Tuhan sempat mengikuti acara Malam Apresiasi Pendidikan Keluarga Kemdikbud, si ibu pun bertanya kepada saya: “Sebenarnya, yang terpenting dalam mendidik anak itu apa, sih?”

Ini pertanyaan yang menarik.

Kebanyakan ibu-ibu yang saya kenal biasanya lebih suka membahas sekolah mana yang bisa membuat anak mereka menjadi anak yang pintar. Lagi-lagi, rujukannya ke mana lagi kalau bukan ke nilai rapor. Sepanjang nilai rapor anak-anak itu baik dan memuaskan, maka orang tua pun akan acuh tak acuh kepada masalah lainnya.

Hingga kini, nilai rapor masih menjadi standar bagi para orang tua untuk perkembangan anak mereka. Para orang tua sering kali lebih risau memikirkan nilai yang anjlok, alih-alih memikirkan apakah anak mereka menikmati waktu di sekolah dan menerima apa yang mereka butuhkan untuk masa depan mereka (di luar ijazah dan nilai rapor).

Saya menanyakan mengapa nilai rapor seakan-akan selalu menjadi yang utama.
Foto: Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Padahal, tentu saja masa depan seseorang tidak bergantung sepenuhnya pada nilai rapor semata. Ada banyak hal yang menunjang perkembangan anak-anak. Pendidikan di dalam keluarga adalah salah satunya.  

Sebagai orang tua, kita sering kali harus mengingat tugas-tugas dan kewajiban utama sebagai orang tua. Selain memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan), mengurus biaya-biaya pendidikan atau hal-hal material lainnya, kita juga memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan emosional anak-anak dan menyediakan tempat yang ‘aman’ untuk anak-anak kita sendiri.

Dalam proses tumbuh kembang, kehadiran kedua orang tua sangatlah penting. Ketidak hadiran salah satunya dapat berpengaruh buruk pada perkembangan psikologis anak, terutama perkembangan sosial emosional mereka.
Dalam studi yang dilakukan oleh Kalter dan Rembar dari Children’s Psychiatric Hospital, University of Michigan, AS, dari 144 sampel anak dan remaja awal yang orangtuanya bercerai, ditemukan tiga masalah utama.

Sebanyak 63 persen anak mengalami problem psikologis subyektif, seperti gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi. Sebanyak 56 persen kemampuan berprestasinya rendah atau di bawah kemampuan yang pernah mereka capai pada masa sebelumnya. Sebanyak 43 persen melakukan agresi terhadap orangtua.
(data dari Kompas.com, 2010).

Dilansir dari fathers.com, anak-anak dari keluarga fatherless (kehilangan sosok ayah) berpotensi hidup dalam kemiskinan, mudah terpengaruh alkohol maupun narkoba, dikeluarkan dari sekolah, dan terganggu kesehatan tubuh dan jiwanya.

Untuk data lebih jelasnya, bisa dilihat di sini:

Ketidak hadiran ibu sendiri juga bisa menimbulkan banyak masalah. Dalam banyak kejadian, anak-anak yang merasakan kurangnya kehadiran ibu mereka akan mengalami kemarahan. Kemarahan dan perasaan ditinggalkan ini dapat menyebabkan perubahan suasana hati atau agresi fisik, yang menyebabkan kesulitan di sekolah atau ketika berinteraksi dengan teman sebaya.

Anak-anak yang terpisah dengan ibunya di usia lebih dini juga berpotensi hiperaktif dan meningkatkan kenakalan mereka. Absennya ibu membuat anak merasa tidak ada yang memantau perilakunya. Selain itu, anak mungkin membiarkan perasaan marah atas ketidakhadiran ibu untuk membawanya bertindak dan memberontak terhadap orang tua yang tersisa, menyebabkan dia terlibat dalam perilaku nakal.

Lengkapnya, bisa dibaca di:

Menjawab pertanyaan ibu-ibu di awal cerita tadi, yang terpenting dalam pendidikan anak usia dini (menurut saya) adalah:

kehadiran orang tua.

Kita tidak boleh meremehkan kehadiran orang tua untuk mendampingi anak. Tidak hanya hadir secara fisik, orang tua juga perlu memberikan waktu, fokus, dan pikiran untuk anak-anak. Milikilah quality time yang benar-benar didedikasikan untuk anak.

Alih-alih memaksa anak belajar (bahkan tak jarang menggunakan kekerasan) agar mendapat nilai bagus, orang tua juga perlu memperhatikan perkembangan di luar perkembangan akademis. Perkembangan kognitif misalnya. Tidak perlu susah-susah, untuk mengasah perkembangan kognitif, orang tua bisa mengajak anak bernyanyi, jalan-jalan, belajar memilih, atau bermain dengan benda-benda yang ada di rumah. Sesekali, kita juga bisa membantunya belajar membaca, menulis dan berhitung.

Lebih lengkapnya tentang tips mengembangkan kemampuan kognitif pada anak bisa dilihat di laman apple tree berikut:

Mengajak anak berbincang-bincang dan berolah raga bersama juga bisa membantu perkembangan bahasa dan fisik pada anak. Nantinya, perkembangan bahasa akan sangat mempengaruhi kecerdasan literasi di masa depan. Berolah raga bersama orang tua juga bisa menjadikan olah raga sebagai hobi dan waktu yang menyenangkan. Anak pun bisa menyukai olah raga di masa depan.

Lalu untuk kemampuan bersosialisasi dan mengelola emosi, tentu hal ini lebih baik diajarkan lewat teladan tindakan, bukan sekadar perintah yang bersifat menggurui. Contoh: percuma saja memarahi anak suka marah dan melawan orang tua jika orang tuanya sendiri suka marah-marah dan tidak mau mendengarkan pendapat anak. 

Hadirlah selalu untuk anak-anak kita. Bagaimanapun, anak-anak akan berjalan menuju masa depannya sendiri. Bagaimana masa depan itu terbentuk, marilah kita mulai merencanakannya sejak dini.


Anak saya, Raynathan
Foto: dok.pribadi

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Anak saya, Stevan.
Foto: dokumen pribadi.

 Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

Kahlil Gibran

Keluarga yang saya pernah impikan.
Foto: dok. pribadi

Penulis:
Putu Felisia
Novelis dan Blogger
Nominee Lomba Blog Keluarga Tahun 2018 Kemdikbud
#appletreebsd

Daftar Pustaka:
#appletreebsd





Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

24 komentar:

  1. Untuk para calon orang tua juga perlu banget nih..thanks buat penulisnya

    BalasHapus
  2. Setuju mbak, kehadiran orang tua memang tak tergantikan dalam mengasuh anak. Terima kasih sharingnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, Mbak. Semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang baik. Amiiin ^^

      Hapus
  3. Great article mbak. Thanks for sharing

    BalasHapus
  4. Terimaksih, artikelnya sangat nermanfaat dan menginspirasi

    BalasHapus
  5. Aduh peranbirang tua emank berat ya. Jangan sampai kita membuat anak tumbuh tanpa orang tua meski kita masih hidup. Makasih artikelnya, Sis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, Sis. Anak-anak tidak hanya butuh orang tua secara fisik dan materi, tapi juga secara emosi ^^

      Hapus
  6. Thanks for sharing mbak. Manfaat sekali. Keren.

    BalasHapus
  7. Artikel yanh keren. Semangat Ce Fei.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mak Catz ^^
      Tengkyu sudah mampir ^^

      Hapus
  8. Artikelnya mengingatkan saya untuk tetap berada dekat anak-anak. Terima kasih mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, Mbak. Selamat melewati quality time bersama anak ^^

      Hapus
  9. Artikelnya mengingatkan saya untuk tetap berada dekat anak-anak. Terima kasih mbak.

    BalasHapus
  10. Betuuul.. Thx for remind me mb..

    BalasHapus
  11. Tulisan yang bagus. Tapi jadi sedih mengingat pada kenyataannya nilai dan segala prestasi itu masih jadi ukuran...hiks.

    BalasHapus
  12. Sejujurnya, ngeri (dan agak nggak terima) membaca hasil penelitian tentang anak-anak dari ortu yang bercerai. Seolah nggak ada yang berprestasi. Seolah perceraian mutlak berdampak buruk bagi anak. Semoga itu cuma seolahnya ya.

    BalasHapus
  13. Tulisannya bagus mbak... Memang miris sih di Indonesia, anak-anak sekecil itu sudah diharuskan berkompetisi dengan standar yang sama. Padahal kan setiap anak bisa jadi punya bakat yang berbeda-beda. Dan alangkah baiknya pendidikan anak usia dini itu lebih ditekankan pada pembentukan karakter anak

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)