Putu Felisia

Kamis, 15 Februari 2018

Malin Kundang: Ibu, Ayah ... Ampunilah Anakmu!

Semua orang yang pernah mendengar dongeng Malin Kundang pasti tahu kalau Malin Kundang adalah anak yang durhaka. Sayangnya, hingga kini sangat jarang orang mempertanyakan orang tua macam apa yang membentuk seorang Malin Kundang.

*
Sudah lama, saya berusaha tidak menyinggung dongeng Malin Kundang di depan anak-anak saya, terlebih untuk menakut-nakuti. Entah mengapa, semakin lama hati saya semakin mempertanyakan kisah-kisah di balik dongeng Malin Kundang ini. Apakah pokok permasalahan kisah ini hanya hati Malin Kundang yang sesat dan jahat?

Hingga kini, tiap anak mungkin masih memegang ajaran moral yang sama dari kisah itu: jangan durhaka pada orang tua kalau tidak mau celaka.

Tapi sayang, sepengetahuan saya tidak pernah saya mendengar ajaran moral dongeng ini diajarkan kepada orang tua maupun calon orang tua.

Mungkin, hampir setiap orang tua bahkan tidak mengerti apa sebenarnya tanggung jawab mereka dalam membentuk karakter anak.

Saya pun dulu demikian.

YA. INI TIDAK SALAH BACA. SAYA DULU BERPIKIRAN PUNYA ANAK PANDAI DAN KAYA ITU ADALAH TUJUAN SAYA MELAHIRKAN ANAK.

Karena itulah yang diajarkan oleh kepercayaan masyarakat turun temurun. Sukses adalah pandai dan cerdas. Sukses adalah punya harta berlimpah.

SUKSES ADALAH PUNYA ANAK YANG BISA DIBANGGAKAN ORANG TUA.

Pola pikir ini yang saya pegang saat itu.

Jadi ketika pertama kalinya saya hamil, saya sungguh bahagia. Saya ingin sekali melahirkan anak yang sempurna, karena itu saya mulai membaca segala macam info tentang perawatan bayi. Saya pun rajin mendengar musik klasik, karena percaya itu bikin anak jadi jenius.

Saya sama sekali tidak mengira, kalau setelahnya hidup saya akan berubah menjadi sebuah mimpi buruk. Saya masih berusia 21 tahun, sama sekali tidak punya bayangan akan kehamilan, apalagi melahirkan.

Dan masa-masa ini saya lewati di tengah cibiran sekeliling saya.

Tri semester pertama dua masa kehamilan saya, saya tidak bisa makan sama sekali. Makan apapun pasti muntah. Yang bisa masuk hanyalah air hangat biasa. Saya lemas sekali, hingga berhari-hari saya hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan kepala pusing.

Di sinilah, kerabat mulai bereaksi. Keadaan saya itu berbuah kenyinyiran. Kenapa saya nggak bisa kayak ibu-ibu hamil lain yang masih bisa bekerja? Bahkan hamil besar pun masih bisa berdagang, dll. Ini menantumu kok males banget, sih? Dst. Dst.

Kalau saya buka buku harian saya dulu, saya hanya membaca kesedihan saya karena sering dimarahi suami.

Kesedihan yang bertumpuk bisa menjadi sakit hati. Dan hati manusia terlalu rapuh untuk menerima rasa sakit sebesar itu.

Kehamilan saya selalu diwarnai tangis, terlebih kehamilan si bungsu yang datang terlalu cepat. Kenyinyiran pun kembali harus saya telan mentah-mentah, dari tuduhan tidak bisa menahan nafsu hingga sudah nggak becus gitu kok malah hamil, dll.

Masa setelah melahirkan dan seterusnya adalah hari-hari nelangsa bagi saya. Ketika anak pertama lahir, saya hampir tidak bisa dan tidak berani menggendong anak saya, karena anak saya hanya tenang di gendongan neneknya. Mertua saya sangat marah kalau anak saya nangis. Sekalinya suami berani membela, anak saya malah menangis sampai pingsan di pelukan saya.

Itu pertama kalinya saya merasa, saya ibu yang paling buruk di dunia.

Ketika mendengar seorang kerabat bilang kalau anak saya itu anak engkong dan cuma numpang lewat di saya, saya mulai mengutuki diri saya sebagai ibu yang bodoh.

Sebagai cucu pertama, anak saya sangat disayang dan dimanja. Apapun yang dia minta harus diberikan. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terluka. Dia tidak boleh digigit nyamuk.

Lama-lama, saya mulai merasa kalau saya melayani seorang bos, bukannya anak.

Buruknya, karena saya sama sekali tidak boleh menegurnya, anak saya hanya mau tunduk kepada engkong saja. Sementara itu, semakin besar kelakuannya semakin tidak terkendali. Akhirnya semua kembali ke satu kalimat sakti, “Urus dia, dia kan anakmu!”

Saya frustasi. Saya sedih. Saya marah.

Tapi saya tidak berdaya di hadapan mertua dan suami yang sangat berbakti pada orang tuanya itu.

Saya menangis. Saya mengutuki diri sendiri lagi. Dan akhirnya, ketika saya sudah benar-benar habis kesabaran … saya mulai melampiaskan kemarahan saya kepada anak-anak.

Seperti di cerita Malin Kundang yang hampir tidak menyebut kata ‘ayah’, anak-anak saya dulu juga hampir tidak mengenal sosok ayah.

Di rumah kami punya prinsip: papa adalah bos dan engkong adalah bos papa.

Prinsip ini kami anut sedemikian rupa. Meski kemudian kami telah pisah rumah dengan mertua. Melayani bos-bos ini semakin lama semakin menyesakkan bagi saya. Terutama saat harus mengikuti kultur masyarakat pamer nilai dan kecerdasan anak masing-masing di pertemuan keluarga.

Masalahnya, dua-duanya anak saya tidak ada yang berprestasi.

Si sulung divonis hiperaktif, si bungsu divonis telat bicara dan telat belajar.

Alhasil, tidak hanya saya yang merasa kecewa … suami dan mertua semakin mendesak saya untuk mendidik mereka agar menjadi pintar.

Dari rasa frustasi tadi, kini kian bertambah dengan keharusan bikin anak-anak punya nilai bagus. Tiap pagi, saya menyiapkan makanan dan melakukan aktivitas rumah tangga dengan suasana hati buruk. Setiap hari saya marah-marah mengajari mereka. Saya stress. Apalagi kalau menjelang ujian, mertua rutin menelepon untuk menanyakan perkembangan pelajaran dan nilai-nilai mereka.

Saya bersyukur, suatu hari Tuhan tegur saya.

Waktu itu, ada suara dalam hati terkecil saya yang bertanya, “Inikah yang sesungguhnya kamu ingin lakukan pada anakmu? Apakah ini keinginanmu atau keinginan mertuamu? Apa kamu ingin hal ini terus berlanjut? Apakah kamu ingin ambil bagian dari semua penyiksaan ini?”

Dan setelah itu, saya sakit. Jiwa. Saya depresi.

Foto dari pixabay.com

Di tengah depresi saya, saya memikirkan banyak hal. Apakah saya akan kuat melanjutkan peran sebagai alat mertua menghasilkan anak yang sukses menurut cara dunia?

Dan hati kecil saya menjawab jelas: TIDAK.

Saat itulah, saya menyerah dengan kondisi saya. Dengan berat hati saya terpaksa tinggal di rumah ibu saya. Setiap hari saya menjerit minta ampun. Setiap hari saya menyesal telah memarahi anak-anak saya, saya menyesal bersikap kasar pada mereka.

Dan saya pun semakin sakit … semakin sakit … hingga nyaris dikirim ke rumah sakit jiwa.

Kalau saja saat itu tidak ada mujizat, saya tidak akan mampu menuliskan ini, hari ini.

Hari ini, saya menuliskan kisah saya ini, untuk sharing kepada orang tua-orang tua yang masih berusaha keras memaksakan anaknya mengikuti standar dunia.

Percayalah, nilai-nilai akademis tidak sebanding dengan kebahagiaan anak-anak. Anak-anak bukan foto kopi orang tua. Mereka adalah manusia-manusia yang memiliki kemerdekaan dan hak untuk melewati masa kanak-kanak dengan gembira.

Dan mereka membutuhkan sosok orang tua YANG SEBENARNYA. 

YANG HADIR SECARA LAHIR DAN BATIN.

*
Ketika hari ini ada yang masih mendongengkan Malin Kundang untuk menakut-nakuti anaknya, saya selalu berpikir … orang tua macam apa yang menghasilkan seorang Malin Kundang?
Di mana ayah Malin Kundang ketika ibunya membesarkan Malin Kundang?
Bagaimana sikap ibunya ketika membesarkan Malin Kundang?

Foto dari pixabay.com

Ayah, ibu … anak-anakmu tidak pernah minta dilahirkan. Memberi materi semata tidaklah cukup untuk kemapanan jasmani rohani anakmu.
*
Para mertua dan kerabat-kerabat, ingat … perkataanmu itu bisa menghancurkan sebuah rumah tangga.
*
Akhir kata, saya ingin menceritakan satu kisah tentang anak-anak saya saat ini:
Satu siang, Evan duduk di dekat saya. Dia bilang, “Ma, sekarang Evan tidak bodoh lagi. Nilai Evan bagus-bagus. Mama harus terima kasih sama engkong.”
Dulu, saya akan langsung jengkel mendengar perkataan itu. Tapi hari itu, ada damai di hati saya saat saya mengatakan: “Evan, berterima kasihlah pada dirimu sendiri, karena telah berusaha keras … Evan juga harus berterima kasih kepada Tuhan yang memampukan Evan untuk belajar.”
Hingga kini, saya hanya bisa menggantungkan masa depan saya pada kekuatan doa.
Benar, karena doa dengan iman berkuasa menyelamatkan.

Foto dari pixabay.com

Tuhan, selamatkan anak-anak kami dari dunia dan mulut orang-orang yang kejam.
Tuhan, biarkan para orang tua hadir dalam kehidupan anak-anak mereka untuk mengajarkan tentang kasih.

Untuk kedua putraku tersayang,
Mama selalu sayang kalian.

Putu Felisia.
www.putufelisia.com











Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

1 komentar:

  1. Ya Allah, mba, sedih banget. Iya betul, paling berat tuh omongan orang sekitar ya. Kayak berjuang sendirian

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)