Putu Felisia

Senin, 24 Juli 2017

Selamatkan Mereka! Jadilah Penolong, Bukan Pembunuh!

Suatu malam, seorang perempuan termenung di depan pintu. Suami dan anak-anaknya tertidur pulas. Dia menghubungi orang-orang yang terlintas di kepala. Orang tua, kerabat, teman, hingga mereka yang ‘berjanji’ siap menjadi tempat curhat. Tapi nihil. Tiada satu pun dari mereka ada. Tentu karena ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sudah saatnya tidur, bukan?

Tapi perempuan itu tak bisa tidur!

Bagaimana pikirannya bisa tenang, saat suaminya baru membicarakan perceraian?


“Aku nggak berani hidup sama kamu,” katanya, “Seperti kata dokter, suatu saat pasti kambuh. Aku nggak mau hidup sama bom waktu.”

Dia masih menjalani pengobatan. Dia masih berusaha bangkit. Tapi perkataan itu seolah memaksanya mundur lagi. Dia menggigil. Menimbang apakah harus menenggak obat penenang sebanyak-banyaknya. Dia ingin melakukan latihan pembebasan trauma seperti saran psikolognya. Tapi untuk apa?

Suaminya tidak menginginkannya lagi. Mertuanya mengasuh anak-anak dengan baik. Apa yang terjadi kalau dia tidak ada di dunia? Tidak akan ada yang berubah, bukan? Dunia ini tidak perlu dirinya. Dia hanyalah sebuah bom waktu yang membebani hidup banyak orang. Dia heran, kenapa dia masih hidup. Padahal kehadirannya tidak berarti.

Perempuan itu menangis. Dia menjerit memanggil Tuhan. Tapi malam begitu gelap. Bahkan bintang enggan berkedip untuknya. Penghakiman semua orang bahwa dia lemah dan tidak becus berputar-putar di benaknya. Dia memandang gerbang, berpikir akan ke jalan raya untuk mencari truk yang bisa menggilas kepalanya. Dengan demikian, dia tidak akan menjadi bom waktu lagi, kan? Orang-orang akan bersyukur, beban mereka terangkat. Seperti sampah, dia harus dibuang. Dia harus mati. Maka dunia akan lebih baik.

Begitu, bukan?

Tapi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan Whatsapp sampai kepadanya:

Hai! Apa kabar? Udah tidur belum? :)

Perempuan itu tertegun. Kaget karena masih ada yang mengingatnya. Ternyata itu seorang sahabat dari jauh. Suatu kebetulan yang ajaib, malam ini sang sahabat juga tidak bisa tidur. Yang di sini galau diajak membicarakan perceraian, yang di sana terlalu nervous karena esok hari pernikahannya.

Meskipun keadaan begitu kontras, sang sahabat tidak serta merta memberondong si perempuan dengan nasihat sepanjang kereta api. Tidak sekali pun perempuan itu mendengar sahabatnya berkata, “Harusnya kamu begini”, “Makanya kamu jangan begitu”. Sahabatnya hanya mendengarkan. Lebih tepatnya, membaca :)

Cerita pun meluncur dalam percakapan Whatsapp itu. Perempuan itu bercerita sambil menangis. Sang sahabat mendengar sambil bertanya: Apa yang bisa kubantu? Apa yang kamu perlukan? Dia mencarikan nomor telepon. Dia mencarikan informasi konseling. Percakapan berlangsung hingga dini hari. Di akhir percakapan, sang sahabat mendoakan semoga perempuan itu menemukan solusi.
Hingga kini, perempuan itu bersyukur… malam itu ada seorang sahabat yang hadir untuknya. Sahabat yang mendengarkan dengan sabar. Sahabat yang memilih bertanya, alih-alih memberi ceramah agama.

Sahabat itu telah mengubah hidup sang perempuan.

Lebih tepatnya, dia menyelamatkan hidup perempuan itu.

***
Tidak bisa dipungkiri, di Indonesia, penyakit apapun yang berkaitan dengan pikiran akan dianggap remeh. Bahkan dalam keluarga sendiri, hal itu dianggap aib. Gangguan kejiwaan dianggap kalah keren dengan penyakit kanker atau jantung. Padahal, sama seperti kanker dan penyakit berbahaya lain, orang bertaruh dengan nyawa. Tidak ada yang tahu, kapan keinginan bunuh diri akan hinggap pada penderita.


Tidak banyak yang mau mengakui, depresi maupun gangguan jiwa termasuk silent killer. Fakta lain mengenai depresi adalah:  berbeda dengan diabetes yang bisa diatasi dengan puasa gula, atau sakit jantung/darah tinggi yang bisa ditahan dengan diet seimbang, depresi tidak bisa ditekan dengan diet cacian atau puasa tekanan hidup.

Gula dan lemak jahat bisa dicegah masuk tubuh. Bagaimana dengan omelan, kenyinyiran, caci maki, pelecehan, perundungan, penyiksaan fisik? Apa semudah itu bisa dicegah masuk otak? Kira-kira apa yang harus dilakukan penderita depresi saat orang lain marah-marah? Pasang earset? Yang ada mungkin si penderita makin dirisak.

Perlu diketahui, depresi itu berbeda dengan stress.

Depresi adalah suatu episode kesedihan atau perasaan apatis yang berbarengan dengan simpton-simpton lain yang berlangsung terus menerus selama dua minggu atau lebih, dan akhirnya memegaruhi aktivitas sehari-hari. Depresi tidak menandakan seseorang itu lemah atau berkepribadian buruk. Depresi adalah masalah kesehatan umum dan gangguan yang bisa dirawat dan diobati.

Gejala-gejala umum dari depresi adalah: suasana hati sedih, kehilangan niat hidup. Penderita juga dihantui perasaan bersalah atau tak berharga, hilang harapan, dan mulai memikirkan kematian atau bunuh diri.

Karena saya bukan praktisi, maka lebih baik baca langsung selengkapnya di sini. Biar lebih jelas.

Meski penyebabnya masih menjadi perdebatan di kalangan medis, tapi saya bisa mengatakan dengan lantang: TIDAK ADA ORANG NGAREP SUPAYA DEPRESI.

Hei, memangnya depresi itu seenak makan pizza atau ayam goreng kentaki apa? Atau semenarik naik roller coaster, gitu? Nggak… atuh, Brosis. Depresi itu penyakit. Seriously, bukan hal yang sengaja diundang buat sekadar caper. Amit-amit. Kalau memang ada orang caper dengan pura-pura depresi, artinya orang itu bodoh sekali. Biarlah dia mencari masalah sendiri.

Sama seperti kita nggak bisa milih lahir di keluarga mana (tolong jangan serang dengan ayat perjanjian dengan Tuhan yang kita setujui sebelum lahir, soalnya saya nggak inget (emangnya situ inget?)), kita nggak tahu akan memiliki orang tua pengasih atau pemarah, teman-teman sekolah baik atau berengsek. Kita nggak tahu bakalan punya bos perfect ala CEO Wattpad yang romantis, atau  malah kayak raksasa yang mau menerkam Timun Mas. Kita nggak tahu, kita bakal menikah dengan suami penyayang ala novel-novel hisrom, atau malah laki-laki yang gagal mengikuti jejak Mike Tyson, hingga akhirnya selalu praktik tinju dengan samsak wajah istrinya. Sama seperti para lelaki tidak tahu bakal ketemu istri lemah lembut dan manut ala Cinderella, atau malah istri galak yang menyaingi ibu tiri. Atau istri yang terobsesi jadi Syahrini, hingga cuci piring saja takut kukunya rusak. Belum uang belanja tasnya puluhan juta, lagi.

Kita nggak tahu bakal bertetangga dengan tetangga baik hati atau penggosip. Kita nggak tahu akan dapat mertua yang seperti apa, ipar yang seperti apa,anak yang seperti apa, menantu yang seperti apa…

Sama seperti kita nggak tahu bakal punya body seperti apa, mata seperti apa, mulut seperti apa, tangan seperti apa, STRUKTUR OTAK seperti apa.

Karena itu, penderita depresi tidak pernah tahu, tekanan hidup apa yang akan menerjangnya. Dia juga nggak tahu, kalau struktur otak dan kemampuannya berbeda dari orang lain. Terlebih lagi, orang-orang di sekeliling selalu mengagung-agungkan stigma, “Gue aja bisa, masa elo nggak”. Seakan-akan, kemampuan semua orang sama rata. Pikiran orang sama semua. Apalagi belakangan muncul kata-kata mutiara dari seorang motivator kondang, “Jika kamu lunak pada dirimu sendiri, maka dunia akan keras padamu. Sebaliknya, jika kamu keras pada dirimu sendiri, maka dunia akan lunak kepadamu”.

Nah, kata-kata dan stigma seperti inilah yang kemudian membuat seorang penderita, alih-alih meminta pertolongan, dia memilih untuk memaksa dirinya untuk bisa seperti orang lain. Dia berusaha memenuhi tuntutan lingkungan, dengan harapan bisa berubah menjadi orang kebanyakan dan diterima. Namun, biasanya, sih… seberapa keras pun mereka berusaha, mereka akan mendapati lingkungan sekitar akan menuntut lebih dan lebih. Hingga mereka merasa putus asa dan makin terpuruk.

“Nggak tahu, sih… rasanya memang lega kalau melampiaskan kemarahan sama dia. Kalau lagi emosi, tinggal ngomelin dia, beres dah. Apalagi kalau lihat dia repot. Senang aja, gitu,” komentar suami seorang penderita depresi.

Seorang psikolog pernah mengatakan, ada tipe orang yang seperti keset. Mereka mengizinkan diri mereka melayani dan memuaskan keinginan orang lain. Mereka diinjak-injak, tetapi mereka mengizinkannya. Mereka ikhlas, tapi orang lain semakin menginjak dan membuatnya seperti barang murahan. Baik orang yang menginjak maupun orang yang diinjak menganggap cara hidup mereka benar. Dunia diperuntukkan untuk orang-orang yang kuat. Yang lemah posisinya di bawah dan layak diinjak.

 Sekarang posisi kita hanyalah satu di antara mereka yang ikut menginjak, atau membantu membangkitkan orang itu. Dari sini kita bisa memilih bagaimana kita membantu mereka. Apakah dengan nasihat, “Kamu kurang keras pada dirimu sendiri”, atau dengan pelukan dan nyanyian lembut yang menyatakan kalau mereka berharga.

Sangat perlu diingat, penderita depresi tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri! Baik itu dengan kekuatan sendiri, agama, iman, atau sabar dan sabar.

Karena itu, nasihat-nasihat berbau agama dan teguran yang sebenarnya mencemooh saja, hanyalah trigger yang memperburuk kondiri mereka.

“Anda bisa menceramahi seorang penderita dengan ayat ini dan itu, lalu membuatnya terjun dari lantai 5 beberapa menit kemudian,” ujar Johana—seorang survivor.

Dhiko Surya Perdana—seorang terapis profesional mengatakan: “Nasihat seprofesional apapun, di saat paling mendesak, takkan masuk dalam pikiran penderita. Anda hanya akan menjadi intruder—seorang penyusup. Negosiasi hanya akan berjalan kalau mereka masih ragu, meski sudah akan mengakhiri hidup. Berada di dekat mereka adalah pencegahan terbaik. Jika sesuatu yang buruk terjadi, pergunakan insting terbaik anda. Jika insting anda berkata lari, larilah. Jika insting utama anda adalah berjuang dan kasih sayang, maka anda akan memaksa menerobos dan mencegah perilakunya. Anda akan memeluknya kuat, memarahinya, menangis bersamanya…”

Jika anda ingin membantu penderita depresi agar sembuh, maka perlu diingat bahwa ANDA TIDAK BISA MEMBANTU SETENGAH-SETENGAH. Anda bisa menentukan batasan, tapi tetap, anda harus memegang komitmen untuk ADA DI DEKAT MEREKA. MENYENTUH SECARA EMOSI. BUKAN DEKAT SECARA FISIK, TAPI RAJIN MENYERANG DENGAN CERITA BETAPA HEBAT DAN SUCINYA ANDA. Rajinlah menggali informasi, bertanya kepada ahli, atau kalau bisa, arahkan mereka untuk konseling. Kalau mereka tidak ada biaya, maka usahakan juga untuk menggalang dana.

Sebenarnya apa yang dibutuhkan para penderita depresi?

Apapun masalah mereka, apapun terapi yang nantinya disarankan oleh terapis profesional, mereka sangat memerlukan kasih. Baik itu simpati, empati, maupun compassion—kewelas asihan.

Sebuah pelukan akan lebih berarti daripada ceramah mengenai “Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umat-Nya.” Sepotong roti saat mereka lapar. Dana pinjaman ketika mereka sangat memerlukan uang. Pekerjaan saat mereka menganggur. Lebih dari itu, mereka perlu diingatkan kalau mereka itu BERHARGA.

Pengakuan akan arti mereka. Penerimaan dan terus ada di dekat mereka adalah dukungan yang luar biasa. Memerlihatkan ‘you are not alone’ bisa membuat penderita bangkit dan kembali memiliki semangat hidup.

Merasa tidak mampu melakukan semua hal di atas? MAKA DIAMLAH!!! Ketahuilah, kalau mulut nyinyir anda sama dengan pistol berpeluru yang langsung anda sodorkan di kepalanya. Jadi, alih-alih jadi pengkotbah, jadilah seorang sahabat yang benar-benar sahabat.

Tidak ada salahnya mengajak mereka berlindung di bawah hadirat Tuhan. Tuhan adalah pegangan terbaik saat manusia goyah. Tapi tetap saja, pertolongan adalah yang utama. Setelah itu, barulah mengusahakan pengobatan dan perbaikan di bidang spiritual.

Akhir kata, semoga setiap kita bisa menjadi penyelamat orang lain. Bukan orang yang membuat orang lain bunuh diri karena mendengar kata-kata kita. Bangkitkan mereka dengan cinta. Jadilah sahabat yang bersimpati, kerabat yang berempati, dan yang terpenting, jadilah manusia welas asih.

Kirang langkung ampurayang.


Terima kasih untuk:
Glenn Alexei
Johana Krisna Ariesta S
Dhiko Surya Perdana
Evi Wirayanti

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

4 komentar:

  1. Setuju Fel. Depresi itu silent killer. Bahkan bisa lebih berbahaya daripada sakit jantung atau kanker karena.... kalau tak tertanggulangi bisa membahayakan orang-orang terdekatnya juga :(

    Dan ajaibnya, banyak dari kita yang menganggap orang depresi itu cengeng, lembek, mental ongol-ongol, dan pantas di-bully atau diinjak-injak. >.<

    BalasHapus
  2. Saya baru sempat baca. Sungguh alur dan rasa yang sama.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)