Putu Felisia

Selasa, 22 Januari 2019

#2019GantiMindset, Pemerintahan yang Baik Tidak Sekadar Sim Salabim


Bagi saya, menyongsong 2019 seperti menyambut tahun ketidakpastian. Terlalu banyak kampanye hitam, hoaks, disertai dengan kenaikan harga gila-gilaan telah membuat saya skeptis. Saya sempat meniatkan untuk golput. Akan tetapi, banyak hal kemudian membuat saya berpikir lagi.

Gambar dari Situs Berbagi Pixabay.com





Dalam sebuah perjalanan ke Jakarta, saya dan teman-teman semobil dengan sopir taksi pendukung salah satu paslon. Dari sekadar obrolan ringan, akhirnya si sopir menyatakan dukungannya kepada paslon itu. Semua orang di mobil pun mengeluhkan kondisi di masing-masing daerah. Apa yang tersiar di luar dan apa yang terjadi di lapangan mendadak buram. Fakta dan kebohongan tumpang tindih sampai-sampai tidak jelas kebenarannya.

Kebetulan, si sopir mengaku pabriknya tutup/bangkrut di rezim ini. Fixed-lah, buatnya pemerintahan ini telah menyengsarakannya. Dengan kemarahan berapi-api, si sopir menyerahkan semua ‘dosa-dosa’ itu kepada satu orang: siapa lagi kalau bukan presiden sekarang. Dengan mengesampingkan orang-orang di sekeliling presiden, semua kesalahan ditimpakan total kepada RI 1, dengan berbagai alasan.

Saya pun teringat dengan Mama saya dan obrol-obrolnya di pasar. Semua mengeluhkan kenaikan harga. Usaha Mama sendiri empot-empotan setelah RI 1 ini naik. Harga ayam melambung, harga cabai lepas landas, bumbu-bumbu lain naik-naik ke puncak gunung turunnya bentar-bentar aja.

Kecewa? Ya, tentu saya kecewa, sebab saya dulu adalah pendukung beliau. Saya pikir, dengan latar belakang beliau yang memang orang sipil, beliau mampu mengatasi persoalan-persoalan rakyat sehari-hari. Sayangnya, apa yang terjadi tidaklah sesuai harapan. Hidup yang biasanya nyaman semakin lama semakin sulit. Kalau bapak sopir tadi menutup pabrik, suami saya ‘cukup’ menjual rumah karena tidak mampu membayar hutang.

Tidak ada hal yang lebih mudah dari menyerahkan semua tanggung jawab kepada satu orang, bukan? Jadi, saya pun sempat marah dengan Bapak Presiden. Apa-apaan naik sebentar sudah bikin banyak orang susah? Mengutip kata Bapak Sopir, kami tidak makan infrastruktur! Kami cuma tahu, kami perlu makan!

Balik lagi ke percakapan di taksi tadi, obrolan yang tadinya ramai oleh kawan-kawan daerah lain kini mengarah ke saya. “Mbaknya bagaimana?”

“Nggak tahu, Mas. Soalnya saya cuma tertarik dengan visi misi dan rancangan dari Paslon,” ujar saya, “Kurang lebih, saya sudah tahu apa yang akan terjadi kalau Paslon Anu naik lagi, ya… udah pasti buat saya nggak enaknya.”

Tentu, Bapak Sopir tertawa menanggapi ujaran yang sebenarnya nggak lucu itu, “Makanya, Mbak… 2019 kita harus ganti presiden!”

“Ya, masalahnya kalau Paslon Anu udah jelas nggak enaknya, Paslon Una malah udah jelas nggak pastinya,” jawab saya, “Antara nggak enak sama nggak pasti ini benar-benar seperti buah simalakama.”

Bapak Sopir ini sejenak tertegun. Saya pun tertegun. Pikiran saya masih mencerna bagaimana bisa seorang manusia bisa menanggung ‘dosa-dosa’ dari satu bangsa. Apakah memang semua ini memang salah satu orang ini saja?

Mendadak, ingatan saya kembali ke serial drama sejarah kesukaan saya. Adegan-adegan yang saya benci adalah ketika para pejabat mulai menentang raja dengan argumen-argumen dan koalisi-koalisi. Kadangkala, pejabat-pejabat ini bahkan hanya menganggap raja sebagai boneka.

Mengingat ini sungguh membuat saya merasa muak. Apa gunanya raja yang baik kalau pejabat-pejabatnya korup dan licik? Bagaimanapun sang raja memikirkan nasib rakyat, para menteri hanya akan memikirkan nasib kekayaan mereka sendiri. Ketika para menteri sibuk menimbun kekayaan, rakyat kelaparan menyalahkan raja atas kemalangan mereka.

Ada juga raja yang memang orangnya tiran. Sukanya bersenang-senang. EGP dengan nasib rakyat. Mau rakyat lapar, biarin. Mau rakyat demo, tinggal ditebas aja. Para pejabat nggak berani ngomong. Soalnya sekali ngomong, kepala melayang. Serem.

Di sisi lain, ada juga yang raja dan pejabat-pejabatnya kompak. Kompak menindas rakyat maksudnya. Tipe raja ini sudah kong kalikong dengan para pejabat. Pajak ditinggikan, belum lagi upeti-upeti yang harus disetorkan kalau ingin aman. Raja dan para pejabat hidup nyaman dalam pesta-pesta dan main perempuan. Di luar istana, rakyat bekerja keras untuk menyetorkan hasilnya ke penguasa. Nggak adil? Emang. Tapi mau bilang apa. Raja adalah raja. Rakyat dianggap cuma remahan rengginang.

Kesimpulan yang saya ambil adalah: sebagus-bagusnya raja, kalau pejabatnya ngaco, pemerintahannya bakal ngawur. Raja jahat tapi pejabat baik, pejabat baiknya disingkirkan. Raja dan pejabat kompak jahatnya, yawes… rakyat sengsara bareng-bareng, penguasa senang bareng-bareng.

Sistem demokrasi seharusnya bisa mengatasi permasalahan ini. Dalam demokrasi, rakyat memilih sendiri siapa wakil yang akan duduk di pemerintahan. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Prinsipnya bagus ini, soalnya kontrol pemerintahan jelas di tangan rakyat, bukan penguasa. Presiden, menteri-menteri, wakil rakyat, pada prinsipnya melayani rakyat. Bukan melayani diri sendiri atau seseebos di atas.

Sayangnya, setelah pemerintahan Orde Baru yang cukup lama, banyak orang menjadi malas menggunakan hak pilihnya. Gimana nggak malas, yang menang PEMILU ya itu lagi, itu lagi. Lu lagi, lu lagi. Kan buang waktu banget.

Mama saya sendiri sudah auto-golput sejak awal. Baginya, PEMILU tidak ada gunanya. Maklum, beliau cukup lama hidup di zaman Orde Baru. Jadi, menurut beliau, tidak ada faedah sama sekali selain mencoblos salah satu dari tiga pilihan parpol. Nyoblos apapun, yang menang, ya… you know who, lah.

Bagaimana dengan zaman now ini? Inilah dia, pemerintahan yang terbentuk dari masa awal reformasi hingga kini terlihat jelas masih banyak kekurangan. Nggak ada pemerintahan ideal dari awal sampai sekarang. Bisa dibilang, mungkin saat ini khalayak berada dalam titik muak. Terlebih melihat kekurangan rezim sekarang yang berpusat pada masalah sentral setiap kehidupan: harga-harga kebutuhan pokok.

Masalahnya, apakah kekurangan-kekurangan ini dapat diperbaiki dalam PEMILU ini? Saya pun masih bertanya-tanya. Ini beneran seperti gambling dengan taruhan masa depan. Sementara pilihan yang ada sama sekali tidak ada yang berkenan di hati.

“Jadi gimana, Mbak? Saya sarankan Mbak doa dulu, deh,” akhirnya nada suara Bapak Sopir melembut, “Kalau dalam agama saya, dianjurkan salat istikharah saat harus mengambil keputusan yang sulit. Semoga bisa mendapat keputusan yang oke, ya … Mbak.”

“Amin!” kata kami bersama-sama.

“Kesadaran berpolitik itu adalah hak setiap warga negara,” kata Mas Faiz teman saya.

Benar juga.

Sayang sekali, pemerintahan yang baik tidak muncul dengan sim salabim. Yang bisa kita lakukan sebagai rakyat hanya berdoa dan berusaha melakukan hal yang kita mampu, salah satunya adalah menggunakan hak pilih memilih sesuai nurani dan petunjuk Tuhan.

Putu Felisia
Novelis dan Blogger.

Gambar dari situs berbagi Pixabay.com


Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

1 komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)