Putu Felisia

Minggu, 04 November 2018

Memerangi "Stunting": Jangan Biarkan Ibu Berjuang Seorang Diri!


Hayooo, para orang tua sudah pada tahu belum, stunting itu apa? Belum? Ya, ampun! Penting banget, lho orang tua tahu tentang stunting, penyakit yang rupanya sudah menjadi masalah serius dalam bidang kesehatan ini.


Menurut Badan Kesehatan Dunia, Indonesia ada di urutan kelima jumlah anak dengan kondisi stunting (sumber: Kompas.com, Lifestyle, Health Concerns, Rabu, 8 Februari 2018). Peringkat ini bukan sesuatu yang perlu dibanggakan, ya. Mengingat peringkat ini menggambarkan bagaimana kondisi anak-anak Indonesia saat ini.

Buat yang masih bingung: Apa itu stunting?

Stunting adalah gagal tumbuh kembang anak yang umumnya disebabkan masalah gizi. Stunting ini bisa terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.
Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk.

sumber gambar: Instagram gnfi

Yang lebih menakutkan, stunting dan kondisi lain berkaitan dengan gizi, juga diduga mengundang risiko diabetes, hipertensi, obesitas, dan kematian akibat infeksi.

Lah, kok ngeri?

Padahal di Indonesia sendiri, iklan produk-produk kehamilan begitu gencar ditayangkan. Belum lagi produk-produk susu bayi dengan gamblang memperlihatkan ‘produk jadi’ si susu, tentunya anak-anak sehat, bertubuh tinggi, berempati besar, atau memegang piala dan medali emas sambil tersenyum lebar. Tentunya, hal ini menyiratkan betapa besar harapan orang tua terhadap anak-anak mereka.

Lalu, mengapa di lapangan malah terjadi gagal tumbuh kembang?

Pertama-tama, marilah kita mencoba mencari penyebab stunting ini.

Di dunia internasional, dikenal istilah Nutritional Enteric Failure. Malnutrisi parah yang menyebabkan gagal tumbuh kembang (stunting) telah berdampak pada 165 juta anak. Di seluruh dunia, daerah-daerah dengan lebih banyak angka penderita stunting, anak-anak terekspos patogen secara rutin dan berulang-ulang. Salah satunya adalah Neglected Tropical Diseases (NTDs).

Infeksi ini memperlihatkan efek merugikan pada masa pertumbuhan. Pada dasarnya, penyakit terjadi akibat kegagalan enteric system di system syaraf menemukan perintah-perintah metabolisme untuk bertumbuh dan berkembang. Nah itu tadi, akibatnya adalah anak yang akhirnya memiliki badan lebih pendek untuk anak seusianya, atau memiliki tubuh cenderung normal tapi anak tampak lebih muda/lebih kecil dari usianya, berat badan rendah untuk seusianya, atau pertumbuhan tulang tertunda.

Selain mempengaruhi fisik tadi, stunting juga dapat mengganggu perkembangan otak. Pada tahun 2014, Dr.Nicholas Walsh, dosen dari pengembangan psikologi di Universitas East Anglia memimpin sebuah riset mengenai otak. Mereka menggunakan teknologi brain imaging untuk memindai remaja umur 17-19 tahun. Para peneliti kemudian menemukan kalau mereka yang mengalami kesullitan-kesulitan sendirian di keluarga yang cenderung moderat, dalam selang waktu kelahiran-umur 11 tahun, memiliki cerebellum (otak kecil) yang lebih kecil.

Keberadaan cerebellum hanya 10% dari volume otak. Meski demikian, cerebellum ini menampung lebih dari 50% total jumlah neuron di otak. Fungsi cerebellum sendiri dikaitkan dengan kemampuan belajar, ketenangan diri, penanganan stress, dan lain-lain.

Ukuran cerebellum yang lebih kecil diduga menjadi satu indikasi penyakit mental di masa depan.

Dari paparan tadi, bisa disimpulkan kalau stunting bisa terjadi karena sebab luar dan sebab dalam. Dari luar: yakni adanya patologi dan masalah pemberian makanan. Dari dalam, yakni masalah internal keluarga, yang ini berkaitan dengan pertumbuhan otak.

Untuk masalah gizi, pemerintah sendiri sudah aktif mengadakan penyuluhan-penyuluhan terkait pemeriksaan ibu hamil dan menjaga makanan selama hamil dan menyusui. Mengenai makanan sehat pun sudah banyak diajarkan di sekolah. Sementara, untuk makanan bayi, sudah banyak kampanye mengenai pentingnya ASI.

Masalah gizi sudah diajarkan sejak sekolah dan bisa dikonsultasikan dengan dokter.
Foto: dokumen pribadi


Kali ini saya akan langsung  membahas penyebab internal keluarga. Bisa jadi, ini yang merupakan masalah banyak keluarga di Indonesia bahkan di dunia.

Banyak orang tua berprinsip, jika mereka telah memberi materi yang cukup pada anak, maka semua masalah akan selesai. Mohon maaf, prinsip ini setahu saya juga berlaku turun temurun di Bali, terutama berlaku bagi laki-laki. Kebanyakan laki-laki merasa tugas mereka adalah bekerja mencari uang. Banyak yang kemudian meninggalkan istri menghadapi kehamilan dan kelahiran sendiri. Ada yang menyerahkan tanggung jawab pada ibu kandung (bagi istri, ini adalah mertua) mereka. Ada yang menyerahkan tanggung jawab pada suster/asisten rumah tangga.

Yang penting mereka memberi uang, maka tugas pun selesai.

Padahal, ada banyak sekali masalah yang harus dialami ibu hamil. Dari 3 bulan pertama di mana banyak ibu muntah-muntah dan tidak bisa makan karena mengidam, bulan-bulan berikutnya di mana ibu-ibu mulai menghadapi peubahan fisik dan emosi, momen kelahiran yang akan menjadi berat jika tidak dipersiapkan dengan baik, hingga sindrom baby blues yang melanda sebagian ibu.

Semua masalah ini pun belum lengkap tanpa adanya nyinyiran orang. Kondisi ibu hamil yang berbeda-beda tak jarang dibanding-bandingkan. Jika ada yang harus bed rest, maka dikatakan pemalas. Jika ada yang makan-makan, maka dikatakan rakus, dan lain sebagainya. Ibu hamil jadi memiliki tuntutan tampil sebagai ibu super yang harus selalu aktif, makan seada-adanya, dan seterusnya.

Belum lagi setelah melahirkan. Untuk sebagian ibu yang tidak memiliki back up, ibu ini harus mengurus bayi sendirian dari pagi hingga malam. Selain kurang tidur, ibu yang bisa jadi tidak terurus makanannya ini harus memberikan ASI kepada anaknya. Jika ibunya saja kurang gizi, bagaimana dengan air susu ibu yang dihasilkan? Jika ibu terbelenggu pekerjaan domestik yang tiada habis, bagaimana dia akan mengurus anaknya? Jika ibunya sendiri mengalami stress berat, bagaimana dia akan mengasuh anaknya?

JANGAN PERNAH TINGGALKAN SEORANG IBU BERJUANG SENDIRIAN.

Baik itu pemeliharaan atau pengasuhan anak, seharusnya dilakukan di sebuah keluarga yang utuh. Disfungsi keluarga, dengan alasan apapun, akan mendatangkan banyak masalah bagi orang tua dan anak di masa depan.

Adanya penyakit stunting sebagai masalah serius sekarang ini, adalah teguran bagi orang tua untuk kembali berkaca. Apakah visi dan misi kita sebagai orang tua? Apakah kita memiliki hal itu? Kalau punya, sudah saatnya kita melihat lagi, apa yang sudah kita lakukan untuk mencapai visi dan misi itu.
Stunting adalah tantangan serius.

Apakah kita, para orang tua, sudah siap menghadapi tantangan ini?

Keluarga Bahagia dimulai dari kehadiran dan pendampingan kedua orang tua, tidak hanya fisik saja.
Foto: dokumen pribadi


Sumber referensi:






#1000HariTerbaik
#1000HariPertamaAnanda

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

Tidak ada komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)