Putu Felisia

Rabu, 18 April 2018

Tanda Bakti (Cerpen)


Sepertinya, hanya hari ini seluruh keluarga Tan Boen San berkumpul semua. Kesembilan anaknya tampak kompak. Tidak berdebat dan saling tunjuk seperti biasa. Cucu-cucunya pun berdatangan. Tidak hanya satu dua, tapi semua muncul. Lengkap bersama dengan cucu mantu dan cicit-cicit. Semua tersenyum sambil mengucapkan semua hal baik. Seakan-akan, mereka sangat menyayangi Boen San.


Pakaian-pakaian Tan Boen San berserakan di lantai. Beberapa anak dan cucu sibuk memilih-milih mana yang paling Boen San senangi. Anak-anak lain membelikan perlengkapan mandi dan obat. Tidak ada yang boleh kurang. Semua harus lengkap diberikan pada Boen San.

Boen San ingat, bulan lalu… anak-anaknya masih sibuk menggerutu. Semua bilang, sudah cukup berbakti dan mengabdi. Toh, tidak semua kebagian warisan. Jangankan yang tidak mendapatkan bagian, yang nyata-nyata diberikan uang, rumah, dan toko saja menganggap sudah cukup Boen San merepotkannya.

A Fong—si sulung, jelas enggan melihat wajah Boen San. Sebenarnya, Boen San pun heran kenapa dia tidak begitu suka dengan anaknya ini. Boen San menganggap anaknya bebal dan tidak berguna. Meski sebenarnya, A Fong yang paling banyak mewarisi sifat-sifatnya. Herannya, meski sangat menyukai uang dan perhitungan, baik Boen San dan A Fong tidak bisa kaya raya. Hal ini kemudian semakin membuat Boen San tidak menyukai A Fong. Sudah perhitungan sama orang tua, miskin pula.

A Mei—putri keduanya, mendapat beberapa toko dan rumah setelah istri Boen San meninggal. Langit mungkin sentimen pada A Mei. Hingga kini, A Mei malah harus ngontrak sebuah kamar indekos kecil. Di sana dia harus berbagi dengan anak, menantu, dan seorang cucu. Beberapa kali, A Mei terpaksa meminjam uang dan mengutang.

A Suan, A Heng, A Kin, anak-anak ini tidak begitu dihiraukan Boen San. Toh, hidup mereka biasa-biasa saja. Tidak ada yang mampu menanggung hidup Boen San di hari tua. Boro-boro mau menanggung Boen San, bisa makan saja mereka sudah syukur.

A Wie mungkin anak yang paling berhasil. Bermodalkan sertifikat rumah tua, A Wie berhasil merintis usaha hingga sukses memiliki toko kelontong yang berkembang menjadi beberapa minimarket. Mau tak mau, Boen San jadi perhatian pada A Wie. Soalnya, secara finansial, A Wie sangat mampu membiayai Boen San.

A Ling, putri selanjutnya, paling mengecewakan Boen San. Beberapa kali dicampakkan lelaki, punya riwayat depresi, pokoknya bikin malu. Kalau saja bisa memilih, Boen San tidak mau A Ling yang merawatnya.  Meski memang lagi-lagi sepertinya langit sentimen. Karena tidak memiliki keluarga dan pekerjaan, hanya A Ling yang bisa mendedikasikan seluruh waktunya untuk merawat Boen San.
A Yin dan A Sing, anak-anak kesayangannya tidak bisa berbuat banyak. A Yin selalu diawasi sang mertua. Sedangkan A Sing sangat bergantung pada penghasilan istrinya. Kerja serabutan, beberapa kali harus meminta Boen San membayari hutang. Tapi tidak apa-apa, toh, Boen San sangat menyayangi A Sing.

Jadi, hingga minggu lalu… anak-anak Boen San masih meributkan siapa yang harus mengurus Boen San. Masing-masing memiliki argumen meyakinkan. Mereka semua sama-sama keberatan mengurus lansia yang sudah tergolek lemah di tempat tidur. Apa enaknya mengurus orang yang saban hari harus disuapi, digantikan pampers, diindahkan keluhan-keluhannya? Bahkan bau badan pun sudah busuk. Luka-luka menjelma koreng. Singkatnya, mereka semua sepakat menganggap Boen San akan menjadi beban, tapi tidak berani menyinggung hal-hal yang menyangkut kematian. Takut kualat, katanya.

Baru hari ini, Boen San bisa melihat kekompakan anak-anaknya. Dengan lantang, mereka mengumumkan akan berbakti selama 42 hari. Mereka memilih peti terbaik. Buah-buahan, kue-kue, alat-alat sembahyangan paling segar dan harum. Mereka merencanakan akan membuat rumah gedong-gedongan paling megah dan mahal.

Seandainya kekompakan itu terjadi waktu Boen San masih tergolek lemah. Seandainya kasih sayang itu didapat ketika Boen San tergolek menahan gatal dan sakit di tempat tidur.

Tetapi sayangnya, waktu tidak bisa diputar balik. Kalau saja bisa, Boen San ingin sekali kembali. Kembali ke saat-saat dulu, di mana dia masih bisa mengajari kalau kasih lebih penting daripada uang dan warisan.

Kasih mendatangkan cinta. Uang mendatangkan ketamakan.

Uang. Uang. Uang.

Kini kertas-kertas terlipat itu telah menutupi sekujur tubuhnya yang kaku. Dipercaya kalau uang-uangan itu akan mampu mengisi kehidupan setelah mati, memberi terang bagi jalan almarhum. Hanya ini rasa bakti dari 9 anak yang dihadirkan Boen San di muka bumi. Anak-anak yang dibesarkannya hingga menjadi dewasa.

Uang-uangan kertas. Dupa yang semakin habis. Sembahyangan yang nanti akan membusuk. Gedong-gedongan mewah yang nanti akan terbakar hingga menjadi abu.

42 hari waktu perkabungan.

Hanya itu saja. Tidak lebih.

Foto: koleksi pribadi


TAMAT

Putu Felisia
IG/Wattpad/Twitter: PutuFelisia

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

Tidak ada komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)