Putu Felisia

Sabtu, 21 April 2018

Kartini Bukan Wonder Woman


Dahulu, saya senang sekali kalau ada yang bilang, “Wah, kamu hebat. Bener-bener kayak Wonder Woman”. Sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, pujian itu bagi saya lebih terdengar menyesatkan. Ya iyalah, masa perempuan yang nyata-nyata hidup di dunia nyata disama-samain dengan karakter fiksi?


Ya, walaupun nggak salah punya fantasi jadi Wonder Woman. Siapa yang nggak mau punya wajah cantik, bodi seksi, pinter, berkekuatan super pula? Saya juga mau, kalau bisa. Hehehe.

Nah, masalahnya … fantasi jadi wonder woman ini lama kelamaan bukan jadi fantasi lagi. Tapi mulai jadi standar umum yang dipasang pada kaum perempuan. Yang lebih menyedihkan, standar ini tak lain dipasang oleh sesama perempuan untuk perempuan lain.

Ada berapa banyak perempuan yang berpikir kalau perempuan itu harusnya memang kayak pahlawan super? Di alam bawah sadar, banyak banget yang masih berpikir kalau perempuan harus mampu mengerjakan semua pekerjaan. Di luar itu, perempuan juga harus berjuang dengan keuangan yang pas-pasan, tak jarang hingga mencari tambahan penghasilan.

Cukup?

Ya, nggak dong.

Itu baru soal pekerjaan rumah dan keuangan. Belum soal tuntutan bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat.

Sama seperti Wonder Woman, perempuan memiliki kewajiban untuk tampil cantik luar dalam. Mereka harus selalu tampil prima. Meski sehari-hari hanya bergumul dengan bumbu dan debu, perempuan wajib menyambut suami dengan penampilan menarik dan senyum merekah manis. Perempuan juga wajib memiliki energi lebih untuk menemani anak-anak belajar dan bermain. Di akhir hari, tugas termulia menanti: perempuan harus memberi pelayanan tempat tidur yang baik untuk suami.

Ini baru di dalam rumah. Di luar rumah, perempuan seakan-akan menjadi ambassador dari keluarga. Perempuan wajib beramah tamah ke orang-orang di lingkungan keluarga. Sedikit saja kesalahan, maka akan menjadi bahan gosip terbaru. Perempuan wajib tampil tanpa cela, ya ... nggak jauh dari yang digambarkan dalam sosok protagonis sinetron-sinetron religi itulah.

Adanya daftar pekerjaan dan tanggung jawab yang buanyaaaaak ini, kadangkala membuat kita lupa kalau perempuan itu hanyalah manusia biasa. Makanya, muncullah ungkapan 'wonder woman' tadi. Soalnya, dalam pandangan masyarakat, perempuan seolah-olah adalah seorang pahlawan super yang memiliki kemampuan menyelamatkan galaksi.

Sendirian.

Dan herannya, yang kebanyakan memasang standar melewati tingginya matahari dan benda-benda langit ini adalah kaum perempuan sendiri.

Hal ini termasuk miris. Sebab, alih-alih memiliki perasaan empati, kaum perundung ini cenderung memiliki tuntutan besar pada perempuan lain. Ya, salah satunya tuntutan sebagai pahlawan super tadi. Banyak perundung bahkan suka mengompor-ngompori suami atau keluarga perempuan lain. Seperti jaksa profesional, mereka membeberkan kekurangan dan kelemahan perempuan tadi. Dan ketika kemudian si perempuan mulai bertengkar dengan suami dan keluarga lain, dalam hati mereka akan bersorak, “Horeeee! Rasaiiin!”

Entah apa yang bikin para perempuan perundung ini kok tega-teganya berbuat begitu. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi … perundungan ini seperti lingkaran setan. Satu perempuan mengalami perundungan, lalu mereka merundung perempuan lain. Jadilah mereka seakan-akan memiliki teman senasib. Mungkin, ini yang kemudian menjadi pemuas bagi mereka.

Sedang bagi laki-laki ... ya, sudahlah. Speechless saya x'D

Yang saya perhatikan, pola ini memang seperti pola warisan yang diteruskan. Di Bali sendiri, sudah wajar melihat perempuan seorang diri mengurus rumah dan anak. Sementara laki-laki diberlakukan bak raja. Kumpul-kumpul sambil judi, atau mabok, atau main perempuan.

Baru-baru ini, seorang kawan lagi-lagi curhat mengenai masalah KDRT yang dialami ibunya. Alih-alih membela, keluarga sang suami malahan membujuk agar si ibu terus sabar menghadapi suami. Karena kalau terjadi perpisahan, akan bikin malu keluarga.

Ada lagi saudara saya yang mengalami KDRT, kali ini komplit dengan PELAKOR (bukan perebut laklak (jajan) orang :v) yang tinggal di rumah dan harus dilayani setiap hari. Saudara ini pernah melapor polisi, tapi oknum polisi itu malah menasihati saudara saya supaya bersyukur dan nurut sama suami.

Ndilalah.

Saya nggak tahu, pada waktu Ibu Kartini hidup di masa lalu, apakah masyarakatnya juga seperti zaman ini. Apakah masyarakatnya termasuk orang yang sama-sama memasang standar ‘wonder woman’ kepada seorang perempuan. Tapi, yang saya pertanyakan … begitu lama perjuangan Ibu Kartini digaungkan, apakah sebenarnya esensi perjuangan ini sudah terealisasi di zaman ini?

Ketika hari Kartini, banyak ibu-ibu mengunggah foto-foto anak berkebaya. Perempuan-perempuan berbaju adat melenggang cantik. Semua mengucapkan selamat hari Kartini dengan lantang.
Namun, jarang sekali ada yang mengatakan soal perjuangan perempuan membela hak-hak perempuan lain. Korban-korban KDRT masih menangis tanpa ada yang menolong, korban perkosaan diperlakukan dengan perasaan jijik, standar-standar kesempurnaan makin diberlakukan bagi ibu-ibu di zaman modern ini. Sementara bagi perempuan-perempuan lain, pelecehan seksual dianggap wajar karena perempuanlah yang dianggap mengundang nafsu syahwat.

Perempuan-perempuan, tulisan ini hanya sebuah tulisan kecil. Namun, memiliki harapan yang besar bagi semua perempuan Indonesia dan dunia. Semoga, hari Kartini ini mampu memberi satu perenungan kepada semua perempuan. Perjuangan Kartini memang belum selesai. Dan karena itu, ada baiknya kita sebagai perempuan belajar. Belajar berempati, belajar mengerti, dan belajar bertumbuh menjadi kepribadian yang lebih baik lagi.

Foto dari Wikipedia


Selamat hari Kartini! :)

Putu Felisia
IG/Twitter/Wattpad: PutuFelisia



Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

Tidak ada komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)