Putu Felisia

Jumat, 08 Februari 2019

Keadilan Gender dan Perempuan-perempuan yang Terabaikan dalam Kampanye


Kampanye Capres-Cawapres masih terus berlangsung. Sayangnya, hingga kini banyak isu yang belum dimasukkan dalam program kampanye. Salah satunya, isu mengenai kesejahteraan dan keadilan terhadap kaum perempuan. Meski Cawapres salah satu Paslon menargetkan pemilih ibu-ibu, hingga kini belum ada program pro perempuan yang digaungkan untuk menarik perhatian. Padahal, alih-alih hanya mengandalkan ketampanan dan rayuan menarik hati, para Paslon seharusnya mengajukan program yang berarti untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan, terutama perempuan-perempuan yang terpinggirkan.

Perempuan yang hanya jadi aksesori politik.
gambar dari situs berbagi gratis pixabay.com



10 Agustus 2018 lalu, Sandiaga Uno melontarkan pidato mencerahkan dalam proses pendaftaran ke KPU. Sandiaga menyebutkan istilah ‘Partai Emak-emak’ dalam salah satu janji politiknya. Dalam janji tersebut, Sandiaga menjanjikan akan berjuang untuk partai emak-emak. Sandiaga mengatakan, “Kami ingin harga-harga terjangkau. Kami ingin harga-harga pangan stabil. Kami ingin percepatan pembangunan dengan pemerintahan yang bersih.”


Keinginan tersebut tentunya adalah keinginan yang mulia. Harga-harga adalah salah satu masalah krusial yang sering menyulitkan para emak-emak. Jika masalah tersebut terselesaikan, tentunya masalah-masalah lain akan menyusul dibereskan secara bertahap.

Sayangnya, hingga artikel ini dipublikasikan, belum ada janji dan program kampanye lain yang lebih membeberkan visi dan misi perjuangan terhadap nasib kaum perempuan, terutama perempuan yang terpinggirkan.

Grafik kampanye Capres 2019
sumber: Iklancapres.id

Grafik Kampanye Media Sosial di situs iklancapres.id memperlihatkan: hanya ada 27 kampanye terkait perempuan dari kubu Paslon 02 (Prabowo-Sandiaga Uno), sementara dari Paslon 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) hanya memberi 10 kampanye, lebih sedikit dari kubu Paslon 02.

Padahal, hingga kini  ada banyak masalah terkait perempuan yang perlu penanganan secara lebih serius. Banyak perempuan yang terpaksa menghadapi berbagai permasalahan sendirian. Sementara masyarakat, pemerintah, bahkan hukum tidak sanggup memberikan perlindungan.

Perempuan-perempuan ini di antaranya:

1.   Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Februari tahun 2018 lalu, Koordinator Bidang Pemantauan Komisi Nasional Perempuan, Dewi Ayu Kartika Sari mengatakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selalu menjadi kasus terbanyak yang diadukan setiap tahun. Menurut Dewi, jumlah kasus KDRT yang diadukan selama tahun 2017 sekitar 300 ribu kasus. Alasan utama pendukung kekerasan ini, menurut Dewi, terjadi karena di Indonesia masih ada budaya patriarki.


Masih banyak yang menganggap perempuan mendapat KDRT karena kesalahannya sendiri.
Gambar dari situs berbagi gratis pixabay.com


Sementara itu, Direktur LBH APIK Veni Siregar mengatakan, sistem hukum di Indonesia masih tidak adil terhadap perempuan. Struktur hukum, aparat penegak hukum, belum seluruhnya memiliki perspektif korban perempuan. Dari sejumlah kasus yang ditangani LBH APIK, sering kali ditemukan berbagai kendala hukum, terutama di pengadilan terkait kekerasan terhadap perempuan. Keputusan dari pengadilan malah sering kali tidak mempertimbangkan kepentingan korban. Korban kekerasan mengalami reviktimisasi, dikriminalkan, atau dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang dialaminya.

Sumber: 


2.   Janda Miskin yang Jadi Kepala Keluarga
Pada tahun 2014 saja, data survei yang dilakukan Pemberdayaan perempuan Kepala Keluarga (PEKA) menunjukkan, sebanyak 24 persen atau hampir seperempat dari jumlah keluarga yang ada dan tersebar di Indonesia, dipimpin janda.

"Secara nasional, survei 2014, di 111 desa pada 17 provinsi. Kami dapat data, 24 persen keluarga dengan kepala keluarga janda dan sejenisnya. Dengan catatan, data yang kami gunakan unit keluarga bukan Kepala Keluarga (KK)," ucap pendiri sekaligus Direktur Sarekat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA), Nani Zulminarni.


Janda yang sendirian memikul beban keluarga.
Gambar dari situs berbagi gratis pixabay.com


Yang lebih miris, hampir 60 persen janda tersebut hidup di bawah garis kemiskinan. Sudah miskin, dalam status sosial, janda acap kali dikaitkan dengan konotasi negatif. Selain mendapat tekanan perekonomian, para janda juga menghadapi penghakiman masyarakat.




3.    Perempuan Korban Perceraian/Poligami

Hingga kini, edukasi berumah tangga tidaklah seimbang dengan kampanye menikah dini dan poligami yang gencar dilakukan segelintir influencer terutama yang berbasis agama.

Menteri Agama Lukmanul Hakim Saifuddin mengatakan, tahun 2017 lalu inisiatif perceraian  juga banyak yang datang dari kaum perempuan.

Beberapa kasus terkait poligami juga terjadi. Dari pembunuhan suami, pembunuhan istri tua, dan seterusnya. Tentunya, ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya tindak kriminalitas. Sayangnya, hingga kini belum ada peraturan pasti yang menjamin keadilan bagi para perempuan yang dipoligami.

Artikel-artikel terkait:




Terkait pernikahan dini, laporan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015 juga menyebutkan, bahwa terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82 persen).

Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).


Sayangnya, alih-alih mempersiapkan pembinaan hidup berkeluarga atau edukasi yang seimbang antara calon suami dan calon istri, lagi-lagi tanggung jawab ditimpakan kepada kaum perempuan. Hal ini terutama pernah disampaikan oleh Wakil Walikota Bandung Barat, Hengky Kurniawan dengan pernyataannya tentang sekolah ibu.

Hengky awalnya menyebutkan tentang angka kasus perceraian. Jika dirata-rata, kata Hengky, ada 9-10 orang yang mendaftarkan perceraian tiap hari.

"Ini menjadi masalah yang serius bagi kami Pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Insyaallah di tahun 2019 kami meluncurkun program 'Sekolah Ibu'," kata Hengky seperti dikutip dari Instagram resminya, @hengkykurniawan, Minggu (30/12/2018).

"Tujuan didirikannya sekolah ibu untuk memberikan pemahaman tentang berumah tangga, bagaimana menghadapi suami, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak kita yang beranjak dewasa dan banyak materi lainnya yang nanti akan diajarkan di Sekolah Ibu. Insyaallah 'Sekolah Ibu' tidak akan membosankan. Ibu-ibu makin sayang suami, kompak dengan anak, dan tentunya keluarga akan lebih bahagia. Insyaallah," sebut Hengky sambil me-mention akun @aa.umbara, @ridwankamil, @humas_kbb, dan @bimaaryasugiarto.

Pada akhirnya, meski mendapat kecaman, ide sekolah tersebut tetaplah menyasar kaum perempuan saja dengan tujuan membuat perempuan-perempuan lebih mampu dan mau mempertahankan rumah tangga.

Sumber:


4.   Perempuan Korban Perkosaan

Pada tahun 2016, VOA Indonesia mengungkapkan, sekitar 93% kasus perkosaan tidak dilaporkan.


Kasus terkini adalah ketika seorang mahasiswi UGM diperkosa, mahasiswi ini justru mendapat perlakuan tidak simpatik dari kampusnya sendiri.  Kasus ini baru mencuat ketika ada petisi yang jadi viral. Pada akhirnya, kasus ini berakhir damai dan pelaku hanya diharuskan melakukan konseling.


Sayangnya, meski ada angin segar melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU ini sendiri masih diperdebatkan karena diduga bertentangan dengan Pancasila dan agama.


Mengenai draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa dilihat di sini : http://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20161111-040327-4431.pdf

5.   Perempuan Penderita Gangguan Jiwa

Dewan pakar Badan Kesehatan Jiwa (Bakeswa) Indonesia, dr Nova Riyanti Yusuf, mengungkapkan, penelitian yang dilakukannya menunjukkan, wanita mengalami masalah emosional empat kali lipat dibandingkan pria. Parahnya, sakit jiwa yang sudah akut ini umumnya akan diselesaikan dengan tindakan bunuh diri.


Perempuan-perempuan penderita gangguan jiwa ini umumnya diabaikan. Meski banyak juga berita mengabarkan para perempuan ini melahirkan di tempat-tempat tidak layak. Tidak jelas bagaimana para perempuan ini hamil atau di manakah bapak dari jabang bayinya.

Sumber:

Sayangnya, lagi-lagi hingga kini belum ada program perlindungan bisa diberikan pada perempuan penderita gangguan jiwa terutama yang menjadi miskin karena dibuang keluarganya.

Waktu kampanye masih berlangsung. Semoga saja para Paslon bisa mencetuskan  program kerja nyata dalam memberi keadilan dan perlindungan kepada perempuan-perempuan yang terpinggirkan ini. Bagaimanapun, perempuan-perempuan ini juga bagian dari rakyat Indonesia dan bangsa Indonesia.

#RakyatCerdasMemilih



Penulis:
Putu Felisia
Novelis dan Blogger







Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

4 komentar:

  1. Bagus ni mbak, programnya semoga terwujud ya agar perempuan Indonesia lebih aman dan dilindungi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul betul.. Setuju.. Semoga para perempuan Indonesia makin terlindungi..

      Hapus
    2. Terima kasih, Mbak. Amiiin. Semoga terjadi 😍

      Hapus
    3. Amiiin. Berharap ada perlindungan, yaa...

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)