Tahun ini
adalah Natal ketiga yang saya rayakan. Namun, saya tidak memaksudkan Natal ini
sebagai momentum agama. Setiap Natal yang datang, saya merasa ada bagian-bagian
diri saya yang kembali utuh. Diri saya yang pernah terpecah belah dan hancur,
dikembalikan sesuai hakikat kelahiran yang sebenar-benarnya, yakni untuk
memuliakan Tuhan.
Sebelum saya
sakit, saya sempat merenungkan, apakah sebenarnya yang saya inginkan dalam
kehidupan saya ini? Saya merekap semua hal-hal yang saya lakukan dari kecil.
Saya merenungkan kembali, keputusan-keputusan mana yang saya ambil dengan
memikirkan diri saya sendiri. Hasilnya: 80% keputusan saya di masa lalu diambil
berdasarkan PERTIMBANGAN ORANG LAIN.
Keputusan
sekolah.
Keputusan
menikah.
Keputusan
berhenti kuliah.
Semua.
Meski pada
akhirnya, orang-orang akan tetap membalikkan kesalahan ke saya. Karena saya
yang mengambil keputusan, maka sayalah yang salah. Bukan orang lain.
Bagi orang
lain di sekitar saya, saya adalah sumber kesalahan. Bahkan ipar saya
terang-terangan membandingkan saya dengan orang Farisi setelah saya memutuskan
ikut Tuhan. Setiap hari, saya selalu dihantui rasa bersalah. Terlebih karena
keadaan ekonomi Mama dan Papa semakin parah belakangan ini. Semua langsung
mengarahkan kesalahan pada saya yang harusnya sudah tidak memberatkan orang
tua.
Anak yang
sudah menikah harusnya pergi dari rumah.
Harusnya anak
yang sudah dewasa yang menanggung orang tuanya.
Begitulah
kata-kata yang sering diucapkan.
![]() |
"Saya siapa?" sumber: Pixabay. |
Akhir-akhir
ini, saat pergumulan saya sudah mendekati titik toleransi yang saya terima,
Puji Tuhan, Tuhan mengirimkan banyak petunjuk-petunjuk agar saya tidak tersesat
lagi. Saya bersyukur, sahabat saya Dhiko Surya Perdana juga selalu ada ketika
saya butuh pertimbangan waras. Dari Dhiko, saya kembali meneliti kondisi saya
sendiri. Dengan menggunakan data-data dan penelitian-penelitian psikologi yang
sudah dipublikasikan di internet, saya akhirnya menemukan banyak hal dalam
kehidupan saya di masa lalu. Hal-hal inilah yang menumbuhkan akar-akar
kepahitan dalam diri saya.
Pada
akhirnya, saya menemukan semua pergumulan saya hanya berasal dari satu sumber:
OMONGAN ORANG.
Jujur, saya
sangat takut mempublikasikan hal ini. Saya takut, semua orang di sekeliling
saya akan kembali menghakimi. Saya takut, Mama dan Papa menyebut saya anak
durhaka. Saya takut, saudara-saudara Mama mengomeli dan menyindir-nyindir saya
lagi. Saya takut, mertua kembali menyebarkan kejelekan saya ke mana-mana. Saya takut,
suami benar-benar menceraikan saya. Saya juga takut, anak-anak akan menganggap
mama mereka tidak waras dan membenci saya.
Saya takut.
Takut sekali.
Tapi saya
tahu, keterdiaman saya tidak akan menghasilkan apa-apa. Saya tahu, masih banyak
perempuan-perempuan lain di sini, perempuan-perempuan yang masih terkurung
dalam lingkaran penghakiman orang lain, yang paling menyakitkan … dari keluarga
mereka sendiri.
Ya, keluarga
sendiri. Entah itu orang tua. Entah itu suami. Entah itu ipar-ipar, paman-paman, bibi-bibi, dan
seterusnya. Orang-orang yang tanpa sadar merongrong hingga
seseorang kehilangan identitas. Seperti saya yang dulu tidak tahu saya siapa
setelah suami bilang, “Kamu beban hidupku,” kelurga suami mengecap, “Kamu nggak
becus urus anak,” paman dan bibi-bibi bilang, "Gitu aja nggak tahan," dan orang tua sendiri mengatakan kalau, “Nasibku jelek punya
anak begini.”
Di saat saya
sadar, saya tidak diinginkan sebagai istri, sebagai ibu, atau sebagai anak,
saat itulah saya hancur, sehancur-hancurnya.
Hari ini,
saya membaca sebuah artikel dari VICE. Jawaban terakhir dari semua yang saya
alami terbongkar sudah. ECHOISME. Hati saya nelangsa seketika, mengingat apa
yang saya lakukan selama ini tanpa sadar hanyalah proyeksi-proyeksi dari
keinginan-keinginan dan luka-luka batin dari orang-orang di sekeliling saya.
Saya
kehilangan identitas.
Saya tidak
tahu siapa diri saya.
![]() |
sumber VICE |
Itu yang
terjadi saat saya sakit kemarin.
Artikel mengenai Echoisme bisa dibaca di sini: Kenali Echoisme
Saya diberikan
obat Arkine, yang setelah saya google merupakan obat untuk Parkinson (tolong
koreksi jika saya salah), saya diberikan obat-obatan untuk penyakit
skizofrenia. Saya juga divonis paranoid. Psikiater saya bilang, saya tidak
mungkin sembuh seumur hidup saya.
Suami kemudian
memulangkan saya. Seorang kerabat dengan sangat menyindir bilang, “Kalau nitip
babi saja orang kasih uang buat memelihara.” Semua penghakiman bertubi-tubi
mulai datang buat saya. Mama yang paling sering kena serang. Semua mengatakan
kalau Mama punya anak nggak berguna. Mengecewakan.
![]() |
sumber: scienceofpeople |
Tipe-tipe orang beracun bisa dibaca di sini: 7 Types of Toxic People
Yang saya
syukuri, dalam lubang hitam tanpa dasar itu, Tuhanlah yang datang sendiri
membela saya. Dengan cara-Nya yang ajaib, Tuhan memberikan pemulihan dan
kesembuhan pada saya. Untuk yang ini, saya sangat amat teramat bersyukur,
karena tanpa mujizat-Nya, saya pasti sudah bunuh diri dengan menabrakkan diri
ke depan truk.
Catatan ini
saya buat menjelang Natal 2018. Sebuah pengingat sekaligus kelepasan bagi saya.
Jujur, saya adalah manusia biasa. Kadang, hati saya sakit mengingat sampai
sekarang pun penghakiman orang tidak pernah berhenti buat saya. Saya tidak
tahu, kapankah mereka bisa melihat kebaikan, alih-alih keburukan saya. Dan sayangnya,
tanpa kuasa Tuhan dan lawatan Tuhan di hati mereka … saya hanya bisa menemukan
satu kata untuk pertanyaan itu: MUSTAHIL.
Saya tidak
menyangkal, kehidupan orang-orang lain banyak yang menderita, bahkan memiliki
rumah tangga cacat. Mereka sangat BERHAK marah. Tapi mereka sangat TIDAK BERHAK
melampiaskan semua kemarahan mereka KEPADA SAYA.
Saya harus
belajar bertanggung jawab atas perasaan dan diri saya sendiri. Saya tidak
memiliki tanggung jawab atas kenyamanan dan perasaan orang lain. Dengan begini,
barulah saya dapat berdamai total dengan diri saya dan menerima diri saya
sesuai apa yang dipandang oleh Tuhan.
THE POWER OF
MASA BODO.
Mungkin
terasa kejam, tapi hanya ini jalan satu-satunya. Tidak ada jalan lain.
Kawan, jika
ada yang saat ini masih terjebak dalam rantai penghakiman dan kebencian, saya
mengajak kawan-kawan untuk mulai mencari diri sendiri. Jangan sampai,
kawan-kawan memiliki nasib sama dengan saya. Hilang identitas hingga kemudian
divonis harus berobat seumur hidup.
Kadangkala
kita tidak sadar, sakit penyakit kita ditanam sendiri oleh orang-orang di
sekeliling kita. Dan pada akhirnya pun, mereka tetap akan melimpahkan semua
kesalahan pada diri kita tanpa rasa empati sedikit pun.
Saya berdoa,
semoga kawan yang kini sadar, bisa segera pulih dan bebas dari racun lingkungan
sekitar.
Kawan, kamu
tidak sendiri!
Berjuanglah
mencari Natal-mu!
Terima kasih
saya untuk:
YESUS
KRISTUS
Dhiko Surya
Perdana (Velvet Sparks Excellence)
Bung Joss
Ellen Kristi
(Komunitas Charlotte Mason Indonesia)
Giez Lantu
Yehezkiel
Dedi.
Lenny
Kusmana
Pak Agus.
Dewi Anita.
Bambang
Irwanto
Dian
Kristiani
Dyah Rinni
Donna
Widjajanto
Esti Budihabsari
Ally Jane
Parker, Aiu Ahra, Stefani Jovita, Elsa Alina, Hanny Dewanti.
Teman-teman
Komsel.
Teman-teman
KANOI.
Teman-teman
penulis.
Teman-teman
yang tidak membenci saya.
Special Thanks
for:
Pinky Xu Lun.
Karenamu, aku berani menceritakan ini.
#2019MulaiHidupBaru
#2019MulaiHidupBaru
Setuju mba, kadang kita terlalu memedulikan memedulikan omongan orang sampai kita sakit sendiri..kudu masa bodo aja sekarang..
BalasHapus