Putu Felisia

Jumat, 21 Juli 2017

Kerja Apa? Saya Dagang Sate… eh, Penulis xD

Hingga kini, saya masih bingung kalau ditanya, “Kerja apa?” Pasalnya, di kolom KTP  nggak ada tercantum profesi ini *dipertegas* :3 Di kehidupan nyata, profesi ini sama sekali nggak keren. Bahkan tetanggamu nggak akan peduli bukumu mejeng di Gramedia. Keluargamu jengkel karena pemikiranmu tidak seperti pemikiran umum. Ini perempuan bukannya mikirin dapur, suami, sama anak-anak, malah mikirin Tuhan, politik, bullying, diskriminasi perempuan, masalah-masalah sosial, sama global warming. Tuh, kurang nyeleneh apa coba? Kan nggak lucu, suami nanya berapa habisin duit di pasar, istrinya jawab harga bawang lagi naik gara-gara pemerintah naikin harga BBM, hihihi :3 (pengalaman saya, lho…)

Soal materi jangan ditanyakan. Untuk penulis yang belum setingkat dengan Tere Liye atau Ika Natassa (ini nama yang kebetulan terlintas, jangan baper :3), ya jangan terlalu ngarep. Kalau mereka bersin aja udah jadi best seller (maaf agak lebay), nah penulis yang masih belum beruntung masih harus bersusah-susah ditolak di mana-mana, atau malah repot beli gantungan kunci buat bonus buku. 

Miris?

Faktanya, penulis itu bukan profesi yang keren banget, lah. Masih kalah sama penyanyi dangdut yang bisa mejeng dengan riasan cantik. Persaingan pun bisa terbilang rada-rada edan. Hari gini modal kualitas tulisan doang? Nggak zaman, Brosis! Dirimu juga harus punya pangsa pasar yang jelas. Tolok ukurnya di mana? Di mana lagi kalau bukan sosmed dan portal novel online.
Seorang teman blak-blakan bilang, kalau penulis itu harus all out. Bisa fotografi, bisa editing foto, bisa bikin video, bisa editing video, eksis di semua sosmed, punya banyak follower (walaupun beli), punya jaringan di sana-sini, dan seterusnya. Idih, beneran bikin kepala ngebul. Ini lebih ribet ngurusin medsosnya daripada risetnya, hahahahaha…

Baca Juga: Dilema Penulis Online

Tapi gimanapun, kita nggak boleh lupa kalau penerbit memang mempercayakan modalnya buat buku kita. Pahit, sih. Apalagi kalau tahu ada novel yang masih khilaf EBI dan logika amburadul lolos dengan mudah. “Telah dilihat … juta kali di Wattpad” sudah jadi satu poin unggulan yang menjamin 80% (kira-kira, ya… soalnya saya bukan orang penerbit) lolos major. Mungkin memang mereka pangsa pasarnya jelas. Mungkin buku mereka juga laris manis. Kan kita nggak tahu juga. Kenyataannya memang yang juta-juta itu lebih menarik perhatian (saat ini, entah sampai kapan). Menolak fakta ini cuma bakal bikin kecewa. Karena itu, mau nggak mau kita harus sadar, penerbitan itu industri. Ada banyak orang yang menggantungkan kehidupan mereka di sana. Penulis hanyalah segelintir kecil di antaranya.

Seorang senior selalu bilang saya tersesat. Beliau sendiri, setelah menuliskan lebih dari 50 buku (terbit major, ya… catat!), menghasilkan ratusan cerpen, dan pernah begitu mencintai dunia menulis, sekarang memilih gantung pena. Realistis, katanya. Buat apa nulis kalau royaltinya bikin nangis? Hari gini, jual rongsokan saja (katanya) lebih untung. Ngapain nulis kalau duitnya nggak bisa buat makan? Penulis produktif aja buntut-buntutnya lamar kerja jadi waiter di restoran.

Nah, makanya saya heran… kok ya, masih saja ada pain and love terhadap dunia tulis menulis? Mau makan, ingat nulis. Mau tidur, ingat nulis. Ini kan persis orang yang sedang tumbuh cinta, hahaha… Belum lagi mau mulai ganti profesi, kok ada aja halangannya. Jualan spageti, spagetinya balik mulu. Jualan sate, suppliernya mengecewakan. Belum capeknya, belum sumber daya yang harus berakhir di tong sampah. Hiks T_T Cuma jahit doang yang masih bisa. Itupun rada ngos-ngosan. Yang penting ada duit beli sabun dan sampo *penting banget*.

Inspirasi lain: Belajar dari Hwang Jin-yi

Alhasil, sekuat apapun memberontak, damai sejahtera itu cuma terasa kalau sudah duduk dan mengetik sesuatu. Nyerah, dah! Yowes… Gusti Allah kalau suruh saya nulis, saya nulis, deh… #pasrah xD Dan herannya, sejak saya pegang pemikiran ini, saya nggak mikir apa-apa lagi. Que sera sera, whatever will be, will be aja.

Kemarin, saya ingat lagi soal tulis menulis ini. Semua hal yang pernah saya lalui terlintas di kepala. Dan ternyata, proses menjadi penulis yang benar-benar penulis itu juga dilalui sebagian besar (mungkin semua) penulis. 

Saya masih ingat, awalnya saya menulis adalah untuk melarikan diri. Dunia itu busuk. Dunia fiksi bisa dibuat ideal. Dari lari, kemudian memenuhi ego. Apapun yang saya tulis, itu untuk mendatangkan puji-pujian. Saya senang sekali jika dipuji. Ini adalah tujuan saya ketika pertama kali menulis. Masih pemula. Penulis pemula yang berjuang demi ego. Dan ego saya ternyata menghasilkan beberapa buku. Puji Tuhan, kan.
Ego kemudian bergabung dengan arogansi. Saya sering menertawakan penulis pemula yang masih polos. Saya remehkan mereka yang bertanya. Pokoknya, dulu saya menjengkelkan banget. Apalagi, dulu lagi beken julukan suker, suhu keren. Wow, rasanya jadi suker itu cetar membahana syalala, deh… Semua penulis pemula hormat. Nggak ada yang berani macam-macam.
Lalu orang-orang pun mulai menuntut. Bahkan diri sendiri juga menuntut. Semua itu kurang! Kurang! Kurang! Saya berubah menjadi hakim atas diri saya sendiri. Ini adalah tahap di mana saya merasa semua yang saya tulis jelek. Semua yang saya tulis menjijikkan. Tahap-tahap ini menakutkan sekali. Karena ego dan arogansi ada di atas segala-galanya. Hati saya ingin meraih lebih dan lebih. Saya ingin menerima pujian lebih dan menyenangkan semua pembaca. 

Masalahnya, itu tak mungkin.

Munculnya penulis-penulis era wattpad mungkin cara Tuhan menegur saya. Semua teori, semua ilmu menulis, semua teknik yang saya kuasai tidak ada artinya. Kalah dengan popularitas. Saya akhirnya membenci tulisan. Rasanya seperti berabad-abad ketika pemikiran saya lumpuh. Kepala kosong tanpa ide. Mengetikkan satu kata saja susahnya minta ampun. Kebencian dan kepedihan berubah menjadi akar pahit dalam diri saya. Semua terasa hampa. Di sinilah titik nadir dari semua pencapaian saya. Saya memandangi trofi. Saya memandangi piagam-piagam penghargaan. Dan seperti yang dikatakan di film Disney’s Cars: “It’s just an empty cup”.

Akhirnya, saya sadar… penulis yang baik tidak menulis untuk apa-apa. Mereka menulis karena mereka dipercayai melakukannya. Mereka pewarta zaman yang akan meninggalkan warisan bagi generasi mendatang. Karena itu, sangatlah egois jika seorang penulis masih berkutat dalam urusan pundi-pundi uang dan puji-pujian duniawi. Penulis adalah pembelajar dan peneliti kehidupan. Mereka belajar dari setiap hal, sekecil apapun itu. Mata mereka peka. Hati mereka terbuka. Mereka menggerakkan peradaban dengan kata-kata.

Itulah penulis yang benar-benar penulis.

Jadi penulis itu nggak gampang, Brosis. Tapi saya percaya, apa yang Tuhan percayakan tidak pernah salah. Masalahnya, manusia memiliki anugerah pilihan bebas. Di sinilah brosis bisa memilih, mau melewati proses yang mana. Sekali lagi, pilihlah sesuai kata Tuhan. Karena rancangan-Nya tidak akan mendatangkan kecelakaan.

Selamat jadi penulis :)

Gambar dari pixabay.com


“Penulis memiliki kekekalan.”
Pdt. Yohanes Kristianus

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

4 komentar:

  1. Mbak kok nggak bahas bagian dagang satenya sih?

    BalasHapus
  2. Udah nulisnya susah, penghasilan segitu (kalo bukan bernama Tere Liye, Raditya Dika dan sejenisnya), dipajekin otomatis, masih harus berhadapan pula dengan orang GILA popularitas yang memplagiat tulisan seenak dengkulnya.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)