Saya
percaya, Afi adalah anak yang sangat beruntung. Tidak mudah baginya memanjat
tingkatan sosial yang dia miliki sekarang. Dia tidak sekadar viral. Tapi
namanya menjadi fenomena. Mulai dari dipuja-puji, hingga dinyinyiri orang-orang
sok bijaksini.
Nah,
siapa remaja yang bisa populer hanya berbekal tulisan? Siapa remaja yang bisa
nampang di layar kaca, hingga bertemu presiden hanya bermodal kata-kata? Saya
percaya, hingga saat ini, hanya Afi Nihaya yang bisa! *tolong jangan sirik*
Orang-orang lain sibuk cari cara buat tenar, dari beli follower, hingga mengajukan laporan hingga 60x yang gagal maning
gagal maning. Tapi balik lagi, ketenaran nggak semudah itu jatuh dari langit.
Susah nyarinya, brosis!
Lepas
dari semua orang kini ramai-ramai berusaha ‘menelanjangi’nya di depan umum,
persis Dursasana yang menarik busana Drupadi di salah satu adegan Mahabharata
*halah*.
Lepas
dari betapa bernafsunya orang-orang ini memergoki Afi mencomot tulisan dari
sini dan situ. Terakhir kayaknya malah plagiat video, katanya. Kayaknya kali
ini, Afi betul-betul butuh koreksi diri, deh.
Di dunia
ini ada begitu banyak orang yang lebih menghargai popularitas daripada
integritas. Pada akhirnya, pride (di
sini saya menerjemahkan sebagai kebanggaan) menjadi sesuatu yang menggoda
sekaligus menjatuhkan.
Faktanya,
Afi telah berubah from zero to hero.
Di sinilah kemudian diuji apakah seorang Afi dapat menerapkan prinsip ‘with great power comes great
responsibility’ (film Spiderman). Popularitas yang datang begitu cepat dan
mudah bisa menguntungkan, atau malah menjebak. Dan sepertinya, cobaan inilah
yang sedang dihadapi sekarang. Kembali kayak Drupadi—primadona Mahabharata yang
kemudian dipaksa untuk ‘ditelanjangi’ di depan umum.
Penghinaan Terkejam sumber gambar: pinterest. Mahabharata Star Plus.
Dengan usia
Afi, perjalanan hidupnya masih sangat panjang. Tak ada yang bisa menebak apa
yang akan dia alami di masa depan. Jika sekarang saja, hidupnya sudah tertekan…
tidak menutup kemungkinan di masa depan, Afi akan menjadi seseorang yang mudah
terkena depresi. Padahal, popularitas itu sementara, kan. Sayang sekali kalau
nantinya terjadi seperti seorang polisi yang membuang profesi demi menyanyi
dangdut. Semua pasti tahu, bagaimana gemerlapnya nama beliau dulu. Tapi
sekarang?
Kenapa
Afi memilih kembali disorot? Kenapa Afi tidak memilih untuk segera menarik diri
untuk lebih mengasah diri? Kembali, ini masalah pilihan.
Kalau
saja Afi memilih untuk menyepi. Mungkin kasusnya akan berbeda. Saya bukan
peramal. Tapi saya pikir, menghindar dari sorotan ada baiknya juga. Kan nggak
ada salahnya (belajar) menulis dengan sungguh-sungguh. Menimba ilmu dari
sumber-sumber mumpuni. Saya percaya, dengan nama Afi, semua guru dan pemuka
agama bersedia membagi ilmu (dengan catatan mereka nggak termasuk kaum nyinyir
bin sirik, ya). Bahkan mungkin Afi bisa menjadi seorang filsuf baru. Seseorang
yang berpikir tanpa iming-iming popularitas. Jujur dalam berkata-kata.
Sebenarnya,
Afi masih punya kekuatan untuk menggerakkan massa.
Buktinya, hingga kini masih ada saja orang yang mencantumkan namanya di medsos
mereka. Ya, termasuk saya ini kan bikin tulisan juga gara-gara dia, hehehe…
Artikel lain tentang Afi: Memilih Warisan
Saya
percaya, perubahan sedang terjadi di dalam bangsa ini. Akan hadir generasi
bangsa dengan pemikiran kritis. Filsuf-filsuf baru. Para pendobrak peradaban. Para kreatif muda. Orang-orang jujur.
Para pekerja keras. Semuanya orang-orang beriman yang menggerakkan bangsa.
Membawa Indonesia ke masa depan penuh damai sejahtera.
Kuncinya
hanyalah karakter dan integritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar