Saya bukan siapa-siapa. Saya bukan pembela Tuhan.
Bukan pembela Ahok.
Yang terpenting, saya tidak memaksa anda membaca
tulisan ini. Apalagi memaksa anda-anda menyetujui pendapat saya.
Saya sadar, sebagai kaum kafir yang logikanya warga dunia
kelas paria, saya mungkin tidak akan didengar. Saya kemungkinan besar
diabaikan. Dan yang lebih mengerikan, mungkin ada orang-orang yang memelintir statement saya. Saya dituntut. Saya
dipenjara. Tidak sebanding dengan hanya
bersuara. RISIKO TERLALU BESAR, FEL!
Bersuara itu sangat merugikan buat saya. Nggak dapat
apa-apa. Siap-siap dilempar ke penjara dan neraka pula. Hidup dipenjara, mati
masuk neraka. Mengapaaa... ku beginiiii *nyanyi*
Tapi seenggaknya, dengan bersuara... saya telah
memenangkan nurani saya. Enough is
enough. Saya capek mendengar ketidakpuasan yang bilang hukuman ini masih
kurang. KURANG BERAT. Saya eneg membaca adanya Tuhan yang lebih berkuasa dari
Tuhan lain (memang Tuhan ada berapa, sih?). Dan yang terpenting, nalar saya
sebagai orang awam dan manusia biasa sangat terusik. Eh, sebagai manusia yang
punya hak asasi. Tak bolehkah jika saya menggunakan hak itu sekali-sekali?
Dari nalar biasa saja, hukuman 2 tahun dari tuntutan
2 tahun masa percobaan 1 tahun penjara itu sudah lebih berat. Harusnya masa
percobaan dulu, tapi ini langsung diseret masuk kerangkeng. Di mana letak
ringannya? Hukuman apa yang dapat memuaskan para ahli-ahli surga dan neraka
ini?
Iseng, saya pernah bertanya kepada teman-teman yang
tergolong haters. Apakah maksudnya
hukuman berat itu dirajam? Digantung? Kursi listrik? Minum kopi sianida? Tapi
tampaknya teman-teman haters ini
masih berbaik hati dengan memberi opsi: harapan terbesar mereka bagi Pak Ahok
adalah Pak Ahok melepas keyakinannya dan mengikuti keyakinan mereka.
“Semoga
dengan masuk penjara, Si Nganu bertobat. Mengubah sikap. Lalu sadar dan jadi …
*agama yang saya (sebagai kaum paria) takut menyebutkan namanya*.
Sejenak, saya merenung. Teringat pertanyaan yang
dilontarkan saat kingdom training:
“Saat
ada orang menodongkan senjata di leher anda, lalu menyuruh anda memilih nyawa
atau Tuhan, yang mana yang akan anda pilih?”
Saat itu saya hanya tertawa bersama teman-teman
lain. Dengan kompak kami mengatakan kalau kami akan memilih Tuhan. Ya, karena
kondisi saat itu hanya reka adegan. Bukan medan yang sesungguhnya.
Ya iyalah, yang ditodongkan spidol bukan golok.
Siapa yang takut, coba?
Tapi tentu saja, jika itu situasi sesungguhnya. Di
mana ancaman begitu serius dilakukan. Saya percaya, semua orang akan ketakutan.
Mungkin hanya segelintir yang memilih setia. Sisanya mending memilih
menyelamatkan diri. Ngapain repot mempertahankan keyakinan kalau hasilnya
dirimu dibenci, difitnah, disiksa, atau bahkan dibunuh?
Saya membayangkan apa yang dialami Pak Ahok
seandainya dia memilih kompromi. Jika beliau mau, beliau bisa saja mengundang
para haters ngopi-ngopi cantik. Tak lupa,
memberi bingkisan menarik dan janji-janji manis menghanyutkan hati.
“Elo
pada maunya apa? Gue bakal nurut.”
“Tobatlah,
Pak!”
“Oke!
Demi kalian semua! Gue akan buang keyakinan gue. Gue nggak mengakui Yesus
sebagai Tuhan. Gue akan nurut apapun kata kalian. Puas???”
"Nah, gitu, dooooong!!!"
Bukannya tidak mungkin, seluruh negeri akan memuji
keputusan itu. Ini pertobatan yang dinantikan, tho? Kalau sudah bukan murid Yesus lagi, kata maaf dan pengampunan
mungkin lebih mudah didapat. Lha,
sudah sealiran kan, apa-apa gampang. Disuruh ganti penampilan, ya ganti
penampilan. Disuruh ibadah, ya ibadah. Disuruh nilep, ya nilep. Disuruh
teriak, ya teriak. Disuruh diam, ya mingkem.
Ikut arahan aja, lah… amaaan.
Biar dalamnya busuk, pokoknya luar terlihat kinclong dan bersih.
Nah, masalahnya… Pak Ahok memilih jalur antimainstream. Dia tidak menyangkal
Yesus. Juga tidak memilih kompromi. Apa yang dia lakukan adalah terus maju
menghadapi tuntutan dari para pembela Tuhan ini hingga akhir. Dan tentu saja,
penjara adalah balasan yang setimpal. Belum termasuk kebencian dan dendam yang
semakin dalam dari para pembela Tuhan dan ahli surga dan neraka.
Ini
orang kapan bertobatnya, sih???
Bertekun—Yohanes 16:1-4a
“Semua ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan
kecewa dan menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa
setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi
Allah. Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa
maupun Aku. Tetapi semuanya ini Aku katakan kepadamu, supaya apabila datang
saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu.”
Maaf kalau sedikit mengutip injil, ya… kata-katanya
ngena banget soalnya. Maklum yang jadi embel-embel selama ini kan memang ‘bela agama’ dan semua bilangnya nggak
terima kalau Tuhan dihina. Jadi mereka sebagai orang-orang saleh harus bantuin
Tuhan membela diri. Hmm… kayak dejavu?
Ada, lhooo... masa di mana ahli-ahli agama
mengerahkan massa untuk berteriak lantang “SALIBKAN DIA!”. Ada, lhooo... masa
di mana massa lebih memilih membebaskan penjahat besar, dan merasa itulah
tindakan yang baik untuk Tuhan.
Terlalu jauh membandingkan Pak Ahok dengan Yesus.
Akan tetapi, apa yang terjadi dengan Pak Ahok sekarang dengan sendirinya
membuktikan kalau memikul salib itu tidak mudah. Mempertahankan iman dan
keyakinan terhadap Tuhan Yesus terbukti harus dibayar mahal. Sebaik apapun Pak
Ahok, dia tetap warga beragama minoritas. Tetap memandang salib di saat-saat
seperti ini sungguh menguras air mata.
Menyedihkan sekali. Kalau saja tidak ada
hikmat dan andil Tuhan, manusia biasa akan segera tumbang.
Sekali lagi, saya ini manusia biasa. Kata kafir
terasa pahit. Tapi saya mencoba menerima. Setiap orang harus memegang teguh
agamanya. Bagi saya, semua ajaran agama itu baik. Yang saya sesalkan hanya
oknum-oknum yang berteriak lantang sambil terus menerus menebar kebencian,
intimidasi, dan ketakutan kepada orang lain. Ini pilihan anda, saya mengerti.
Ini benar menurut anda, it is ok. Saya
tidak berhak mengatur pikiran anda. Tapi saya ingin bersuara. Meski hanya
sekali ini saja. Atau jika Tuhan izinkan, saya akan tetap bersuara. Menentukan
sikap. Inilah saya. Inilah pikiran saya. Inilah pendapat saya.
Jika saja saya bisa bertemu Pak Ahok saat ini, saya
pasti menangis. Saya tak sanggup menonton liputan Pak Ahok dibawa ke LP
Cipinang. Nurani saya terusik. Rasa keadilan saya benar-benar dihajar habis.
Tapi percayalah, Pak Ahok. Saya bersyukur hidup
sezaman dengan bapak. Saya bersyukur menjadi saksi sejarah perjalanan seorang
Basuki Tjahaja Purnama, dengan imannya yang tak tergoyahkan. Banyak sekali
pelajaran yang bisa saya ambil dari semua kejadian ini. Betapa Tuhan
menunjukkan, kemuliaan dunia hanya bersifat semu. Pujian-pujian manusia hanyalah
sia-sia. Dan semakin nyata kalau kebaikan akan selalu dimusuhi di dunia ini.
Doa saya untuk Pak Ahok, semoga Pak Ahok kuat
memanggul salib. Walau kita tak dapat melihat rencana Tuhan, saya yakin
rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera. Tetap kuat, Pak Ahok. Doa-doa
saya menyertai anda. Tuhan Yesus memberkati.
Sumber gambar: @RenunganAlkitab, http://kuatkanlahimanmu.blogspot.co.id/, www.merdeka.com.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)